Banner 1

Friday 13 October 2017

Minim Keuntungan, Petani di Lembang Keluhkan Rantai Distribusi


BANDUNG BARAT  – Sebagian petani di Lembang, belum merasakan keuntungan besar, disebabkan panjangnya mata rantai perdagangan dari petani hingga sampai ke tingkat konsumen.

Ayi Cuplis, seorang petani asal Kampung Gandok, Desa Cibodas Lembang mengatakan, petani sayuran sebenarnya bisa lebih sejahtera andaikan jika tata niaga perdagangan atau jalur distribusi barang bisa dipangkas.

“Masalahnya kan, sebelum sampai ke tangan konsumen, produk pertanian selalu melalui perantara atau pengepul. Dari pengepul masuk ke pasar induk lalu baru didistribusikan ke pengecer di pasar-pasar tradisional, “ucap Ayi, kemarin

Sebagai contoh, kata dia, cabai rawit jika sudah dijual di pasar tradisional dipatok dengan harga Rp 15.000/kg, padahal dari tingkat petani hanya dijual Rp 6.000/kg. Jika saja jalur distribusi bisa dipangkas, harga dari tingkat petani lebih tinggi.

“Tantangan petani itu sebenarnya cukup berat, karena harus keluar biaya perawatan, belum ditambah biaya untuk beli pupuk dan obat tanaman. Dengan harga cabai yang hanya Rp 6.000/kg, sebenarnya enggak bisa menutupi ongkos dari masa tanam sampai panen,” tuturnya.

Menurut dia, jika pemerintah mau mensejahterakan petani, salah satu upaya yang harus dilakukan adalah dengan memangkas jalur distribusi barang. Selain itu, dia juga meminta subsidi pupuk juga harus tepat sasaran. Lantaran sampai saat ini, pupuk hanya dimonopoli kelompok tani tertentu saja sehingga terkadang petani kecil tidak kebagian pupuk.

Dia menyatakan, keuntungan petani dari hasil panen sayuran juga tak bisa dinikmati semua sebab rata-rata tanahnya sudah bukan milik warga setempat. Ayi sendiri harus meminjam tanah seluas 1 hektare milik sekolah internasional yang berada di desa Cibodas.

“Hampir semua tanah garapan pertanian di desa ini dimiliki warga pendatang, setiap kali panen, saya harus bagi hasil, 70 % buat petani, sisanya untuk pemilik lahan. Bukan hanya di Cibodas saja, di Desa Cikidang dan Wangunharja juga tanahnya sudah dimiliki orang luar, warga lokal terpaksa harus menyewa,” ungkapnya.

Dia menambahkan, keuntungan besar dari hasil penjualan pertanian bisa didapat apabila salah satu jenis sayuran langka dipasaran. Misalnya saat harga cabai rawit tembus sampai Rp 100 ribu/kg beberapa waktu lalu, namun itu pun hanya terjadi dalam dua tahun sekali.

“Keuntungan dari penjualan cabai rawit bisa menutupi biaya pembibitan dan perawatan jenis sayuran lainnya,” jelasnya.

Berbeda dengan Ulus Firmawan, ketua Gapoktan Wargi Panggumpay kampung Gandok desa Sunten Jaya, mengatakan, saat ini petani yang tergabung dengan kelompoknya ada perubahan, yakni dapat memutus mata rantai tengkulak, pasalnya menurut dia, saat ini penjualan langsung pada produsen,

“Sekarang kami jadi penyuplai salah satu komoditi yakni buncis baby, perhari 2 ton masuk supermarket”ujar Ulus.

Ulus juga menambahkan, bahkan permintaan dari luar negeri pun dia layani, diantaranya adalah Singapur. “Selain pasar dalam negeri kami juga pasok kebutuhan luar negeri”ucapnya.
(bie)


sumber:pojoksatu.id

0 komentar:

Post a Comment