Friday, 27 October 2017
Terlalu Ketat Diawasi, Katanya Dana Desa Seolah Seperti “Jebakan”
KABUPATEN BANDUNG – Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) Kabupaten Bandung pertanyakan kebijakan Pemerintah Pusat terkait pengawasan penggunaan Dana Desa (DD) oleh setiap Kepolisian Sektor (Kapolsek) dan Babinkamtibmas wilayah masing-masing yang dirasa sangat berlebihan.
Disebutkan berlebihan, menurut Apdesi saat ini pengawasan yang dilakukan oleh pemerintahan dirasa yaitu dengan auditor dari Inspektorat tingkat Pemerintah Kabupaten, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kemudian pengawasan oleh Badan Permusyawarah Desa (BPD) serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).
Sekretaris Apdesi Kabupaten Bandung, Hilman Yusuf menyebutkan kebijakan Kepemerintahan di era Jokowi sangat ketat menyoroti penggunaan DD. Padahal anggaran digelontorkan oleh pemerintah tak lebih dari Rp 2 Milyar pertahun. Anggaran tersebut nantinya dipergunakan untuk berbagai pembangunan baik infrastruktur atau menunjang program kerja yang telah rencanakan sebelumnya.
Anggaran desa yang hanya 2 miliar rupiah. Hilman mengatakan ini tidak sebanding dengan pengawasan di Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tingkat Kabupaten. Pasalnya disetiap anggaran mencapai Rp 20 miliar yang didampingi pula oleh konsultan berbagai bidang.
“Kenapa selalu anggaran desa yang selalu disoroti, kemudian kami tidak ada sama sekali konsultan ahli. Kami pun menyebutkan ini adalah sama seperti jebakan kepada Kepala Desa (Kades) oleh Pemerintah Pusat,” kata Hilman saat dihubungi, kamis (26/10/2017).
Hilman juga mengatakan, selama ini penggunaan DD yang ada di setiap desa dilakukan audit oleh Inspektorat dan BPK. Terkait itu pengawasan pun dilakukan diantaranya Pemerintah Kabupaten, Polres hingga Polda, Kejaksaan Tinggi dan LSM. Dengan adanya rencana dilakukan oleh Kapolsek dan Bhabinkamtibmas itu dirasa amat berlebihan.
“Dengan keterbatasan SDM dan gaji yang diterima oleh Kades hanya kisaran Rp 3 juta. Saya rasa aparat bisa masuk dan melakukan penindakan setelah ditemukan adanya pelanggaran,” ujarnya.
Selama ini penggunaan DD di setiap desa tidak didampingi oleh konsultan profesional dibidangnya. Akan tetapi saat pendamping memiliki latar belakang tidak sesuai, seperti contoh seorang sarjana agama dijadikan pendamping untuk kegiatan infrastruktur desa, tentu saja sangat bertolak dengan yang digeluti saat ini.
Kemudian, selama ini anggaran DD yang diterima pun harus dipotong. Padahal Hilman mengatakan berbagai barang yang telah dibelanjakan pun telah dikenakan pajak. Itu artinya double acount.
“Kami bersyukur dengan adanya DD, tapi kalau seakan menjadi jebakan kita akan tolak,” tuturnya.
Seperti diketahui beberapa waktu lalu Kapolri Jendral Tito Karnavian sudah menandatangani nota kesepahaman dengan Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo serta Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Yang berisis kesepahaman tentang pencegahan dan pengawasan dana desa.
(kim)
sumber:pojoksatu.id
0 komentar:
Post a Comment