Jakarta - Fenomena bunuh diri yang terjadi belakangan ini mengagetkan masyarakat. Seorang sopir taksi online hingga manajer artis meninggal dengan cara bunuh diri.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto mengatakan, salah satu penyebab terjadinya bunuh diri adalah kegagalan seseorang dalam beradaptasi di lingkungan sosial. Akhirnya orang tersebut menutup diri dan tidak berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
"Bisa jadi itu faktor sosiologis tidak bekerja, pada prinsipnya kita itu makhluk sosial. Kita hidup dengan banyak orang, ketika kita gagal dalam beradaptasi kemudian kita menutup diri, ada dua kemungkinan karena memang sengaja menutup persoalan sosial, atau ada tekanan," ujar Derajad dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (22/3/2017).
Dalam perjalanannya, adaptasi dengan lingkungan pun memang bisa dikatakan berhasil dan bisa juga tidak. Seseorang yang berhasil menyesuaikan dengan kehidupan sosialnya maka dia cenderung terbuka dan bergaul dengan masyarakat.
"Proses adaptasi itu ada dua, dia berhasil, dia gagal. Adaptasi itu pun dipengaruhi tiga, keyakinan, kebutuhan, peluang, keyakinan dan kebutuhan itu di dalam diri, sedangkan peluang di dalam masyarakat,peluang itu didapat ketika dia mampu bergaul dengan orang lain," katanya.
Menurut Derajad, setidaknya ada dua tipe bunuh diri yang menonjol dan mampu menjelaskan fenomena bunuh diri dalam masyarakat Indonesia. Pertama adalah adanya ketidakteraturan dalam norma yang dianut oleh seseorang sehingga dia mengejar hal-hal yang bersifat material dan berlaku hedonistik yang menyebabkan kehidupannya disudahi dengan cara tragis.
"Ada beberapa tipe jika merujuk Emile Durkheim, namun setidaknya ada dua tipe yang cukup menonjol. Anomistik dan Fatlistik. Pertama, itu munculnya bunuh diri karena ketidakteraturan norma, orang mempunyai pegangan yang tidak jelas, karena masyarakat kita normatif, sangat taat terhadap aturan, sangat merujuk kepada aturan. Ada ketidakteraturan norma sehingga mereka kehilangan pegangan, sehingga mereka masuk ke dalam dimensi norma gaya hidup, memburu kekayaan, terus kemudian gaya hidup hedonistik, ketika mereka tidak mampu mencapai, alhasil mereka menyudahi kehidupannya," terangnya.
Selanjutnya, fenomena bunuh diri pun disebabkan oleh dimensi keseimbangan alam dan tekanan yang begitu tinggi. Faktor ini menyebabkan masyarakat pasrah pada nasib dan tidak menyandarkan dirinya pada kehidupan nyata.
"Kecenderungan bahwa masyarakat ini pasrah pada nasib, dimensi keseimbangan dengan alam mestinya berpengaruh,sekarang alam sudah tidak lagi menyandarkan diri pada alam,ada kehidupan dan tekanan hidup menjadikan mereka tidak lagi merujuk keseimbangan alam sehingga mereka memutuskan bunuh diri," jelas Derajad.
Menyikapi hal tersebut, Derajad menganjurkan kepada pemerintah dan masyarakat untuk membuka ruang-ruang terbuka tempat pertemuan antar warga. Ruang ini diharapkan dapat menjembatani interaksi antar warga yang bisa meminimalisir rasa menutup diri dan individualistik yang kerapkali menjadi pemicu dalam aksi bunuh diri.
"Jangan menutup diri, mereka mengurangi menutup diri, membuka forum pertemanan keluarga, pertemuan antar warga, pertemuan RT/RW, kumpulan muda apalagi di kota-kota besar, ada ruang bersama, interaksi antar warga untuk saling mengenal" pungkasnya.
Sosiolog Universitas Gadjah Mada (UGM) Derajad Sulistyo Widhyharto mengatakan, salah satu penyebab terjadinya bunuh diri adalah kegagalan seseorang dalam beradaptasi di lingkungan sosial. Akhirnya orang tersebut menutup diri dan tidak berinteraksi dengan masyarakat sekitar.
"Bisa jadi itu faktor sosiologis tidak bekerja, pada prinsipnya kita itu makhluk sosial. Kita hidup dengan banyak orang, ketika kita gagal dalam beradaptasi kemudian kita menutup diri, ada dua kemungkinan karena memang sengaja menutup persoalan sosial, atau ada tekanan," ujar Derajad dalam perbincangan dengan detikcom, Rabu (22/3/2017).
Dalam perjalanannya, adaptasi dengan lingkungan pun memang bisa dikatakan berhasil dan bisa juga tidak. Seseorang yang berhasil menyesuaikan dengan kehidupan sosialnya maka dia cenderung terbuka dan bergaul dengan masyarakat.
"Proses adaptasi itu ada dua, dia berhasil, dia gagal. Adaptasi itu pun dipengaruhi tiga, keyakinan, kebutuhan, peluang, keyakinan dan kebutuhan itu di dalam diri, sedangkan peluang di dalam masyarakat,peluang itu didapat ketika dia mampu bergaul dengan orang lain," katanya.
Menurut Derajad, setidaknya ada dua tipe bunuh diri yang menonjol dan mampu menjelaskan fenomena bunuh diri dalam masyarakat Indonesia. Pertama adalah adanya ketidakteraturan dalam norma yang dianut oleh seseorang sehingga dia mengejar hal-hal yang bersifat material dan berlaku hedonistik yang menyebabkan kehidupannya disudahi dengan cara tragis.
"Ada beberapa tipe jika merujuk Emile Durkheim, namun setidaknya ada dua tipe yang cukup menonjol. Anomistik dan Fatlistik. Pertama, itu munculnya bunuh diri karena ketidakteraturan norma, orang mempunyai pegangan yang tidak jelas, karena masyarakat kita normatif, sangat taat terhadap aturan, sangat merujuk kepada aturan. Ada ketidakteraturan norma sehingga mereka kehilangan pegangan, sehingga mereka masuk ke dalam dimensi norma gaya hidup, memburu kekayaan, terus kemudian gaya hidup hedonistik, ketika mereka tidak mampu mencapai, alhasil mereka menyudahi kehidupannya," terangnya.
Selanjutnya, fenomena bunuh diri pun disebabkan oleh dimensi keseimbangan alam dan tekanan yang begitu tinggi. Faktor ini menyebabkan masyarakat pasrah pada nasib dan tidak menyandarkan dirinya pada kehidupan nyata.
"Kecenderungan bahwa masyarakat ini pasrah pada nasib, dimensi keseimbangan dengan alam mestinya berpengaruh,sekarang alam sudah tidak lagi menyandarkan diri pada alam,ada kehidupan dan tekanan hidup menjadikan mereka tidak lagi merujuk keseimbangan alam sehingga mereka memutuskan bunuh diri," jelas Derajad.
Menyikapi hal tersebut, Derajad menganjurkan kepada pemerintah dan masyarakat untuk membuka ruang-ruang terbuka tempat pertemuan antar warga. Ruang ini diharapkan dapat menjembatani interaksi antar warga yang bisa meminimalisir rasa menutup diri dan individualistik yang kerapkali menjadi pemicu dalam aksi bunuh diri.
"Jangan menutup diri, mereka mengurangi menutup diri, membuka forum pertemanan keluarga, pertemuan antar warga, pertemuan RT/RW, kumpulan muda apalagi di kota-kota besar, ada ruang bersama, interaksi antar warga untuk saling mengenal" pungkasnya.
sumber:(detik.com)
0 komentar:
Post a Comment