Jakarta - Ekspor kelapa sawit ke Eropa kembali dipersoalkan. Kali
ini datang dari Anggota Parlemen Eropa Komite Lingkungan, Kesehatan
Masyarakat, dan Keamanan Pangan.
Komite ini melakukan voting atas laporan yang menyatakan sawit sebagai penyebab deforestasi, degradasi habitat, masalah HAM, standar sosial yang tak patut, dan masalah tenaga kerja anak. Komite setuju isi laporan itu dengan hasil voting 56:1
Hasil voting memang belum mengikat, karena harus dibawa ke sidang pleno 3-6 April nanti. Namun, implikasi dari laporan itu bisa menghentikan penggunaan minyak sawit dari program biodiesel Eropa di 2020 nanti, selain itu untuk menerapkan sertifikasi minyak sawit Eropa.
"Voting itu merupakan langkah politik yang tidak menghormati kerja sama Indonesia Uni Eropa, didasarkan pada laporan yang tidak benar, dan merupakan bentuk kampanye negatif yang nyata dan sangat bernuansa kepentingan persaingan dagang," ujar Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Bayu Krisnamurthi, dalam keterangan tertulis, Jumat (10/3/2017).
Bayu mengatakan, kajian Komisi Eropa pada 2013 menunjukkan deforestasi yang dipicu sawit hanya 2,5%, jauh lebih kecil dari pembukaan lahan kedelai, peternakan sapi, jagung, dan pengembangan infrastruktur.
Selain itu, ekspansi sawit di seluruh dunia hanya seperlima dari ekspansi kedelai dan jauh lebih kecil dari ekspansi rapseed, tanaman sumber minyak nabati yang tumbuh di Eropa.
"Sawit adalah salah satu kegiatan ekonomi yang mendukung (sustainable development goals) dan diakui APEC sebagai development product karena terkait pembangunan pedesaan dan pengurangan kemiskinan dengan fakta 90% sawit di Afrika, dan 45% di Indonesia diusahakan petani kecil," terang Bayu, yang juga mantan Kepala Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit.
Mengacu pada situasi ini, Bayu meminta pemerintah segera bertindak. Pertama, memastikan sawit menjadi salah satu perhatian utama dalam negosiasi RI-EU-CEPA.
Kedua, memanfaatkan forum WTO untuk mendapatkan perlakuan non diskriminatif apabila sawit harus bersertifikat. Artinya, semua minyak nabati yang digunakan Uni Eropa termasuk dari kedelai, rapseed, bunga matahari dan lainnya harus bersertifikat.
Ketiga, menyiapkan langkah untuk mengatur tentang sertifikat bagi komoditas impor seperti kosmetik, susu/keju, anggur/wine, termasuk yang berasal dari Eropa. Keempat, memperkuat kerja sama dengan negara produsen sawit, terutama di kawasan APEC dan Afrika.
Komite ini melakukan voting atas laporan yang menyatakan sawit sebagai penyebab deforestasi, degradasi habitat, masalah HAM, standar sosial yang tak patut, dan masalah tenaga kerja anak. Komite setuju isi laporan itu dengan hasil voting 56:1
Hasil voting memang belum mengikat, karena harus dibawa ke sidang pleno 3-6 April nanti. Namun, implikasi dari laporan itu bisa menghentikan penggunaan minyak sawit dari program biodiesel Eropa di 2020 nanti, selain itu untuk menerapkan sertifikasi minyak sawit Eropa.
"Voting itu merupakan langkah politik yang tidak menghormati kerja sama Indonesia Uni Eropa, didasarkan pada laporan yang tidak benar, dan merupakan bentuk kampanye negatif yang nyata dan sangat bernuansa kepentingan persaingan dagang," ujar Ketua Umum Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia (PERHEPI), Bayu Krisnamurthi, dalam keterangan tertulis, Jumat (10/3/2017).
Bayu mengatakan, kajian Komisi Eropa pada 2013 menunjukkan deforestasi yang dipicu sawit hanya 2,5%, jauh lebih kecil dari pembukaan lahan kedelai, peternakan sapi, jagung, dan pengembangan infrastruktur.
Selain itu, ekspansi sawit di seluruh dunia hanya seperlima dari ekspansi kedelai dan jauh lebih kecil dari ekspansi rapseed, tanaman sumber minyak nabati yang tumbuh di Eropa.
"Sawit adalah salah satu kegiatan ekonomi yang mendukung (sustainable development goals) dan diakui APEC sebagai development product karena terkait pembangunan pedesaan dan pengurangan kemiskinan dengan fakta 90% sawit di Afrika, dan 45% di Indonesia diusahakan petani kecil," terang Bayu, yang juga mantan Kepala Badan Pengelola Dana Perkebunan (BPDP) Kelapa Sawit.
Mengacu pada situasi ini, Bayu meminta pemerintah segera bertindak. Pertama, memastikan sawit menjadi salah satu perhatian utama dalam negosiasi RI-EU-CEPA.
Kedua, memanfaatkan forum WTO untuk mendapatkan perlakuan non diskriminatif apabila sawit harus bersertifikat. Artinya, semua minyak nabati yang digunakan Uni Eropa termasuk dari kedelai, rapseed, bunga matahari dan lainnya harus bersertifikat.
Ketiga, menyiapkan langkah untuk mengatur tentang sertifikat bagi komoditas impor seperti kosmetik, susu/keju, anggur/wine, termasuk yang berasal dari Eropa. Keempat, memperkuat kerja sama dengan negara produsen sawit, terutama di kawasan APEC dan Afrika.
(ant)sumber:pojok jabar
0 komentar:
Post a Comment