POJOKSATU.id, JAKARTA – Rencana Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan melakukan moratorium atau pemberhentian
sementara pelaksanaan Ujian Nasional (UN) didukung penuh segenap guru,
siswa dan orang tua siswa.
Mayoritas anggota Komisi X DPR RI juga mendukung kebijakan moratorium
meski mempertanyakan persiapan pemerintah untuk ujian pengganti.
Namun,
rencana tersebut ditolak Wapres Jusuf Kalla padahal Presiden Joko
Widodo (Jokowi) belum memutuskan demikian, dan baru akan menggelar rapat
terbatas pada pekan depan.
Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) sebagai organisasi profesi
guru yang getol menyuarakan penolakan UN sebagai penentu kelulusan siswa
dan konsisten membuka posko pengaduan UN sejak 2011-2016 sangat
menyayangkan pernyataan Wapres Jusuf Kalla. Karena itu, FSGI menyerukan
Presiden Jokowi mendukung Mendikbud untuk mematuhi keputusan Mahkamah
Agung tentang UN yang sudah dinyatakan ikrah sejak 2009.
“Sinyal adanya niat baik pemerintah melalui Kemendikbud yang
mengakomodir aspirasi masyarakat untuk mengusulkan moratorium UN sangat
dinantikan banyak pihak. Diantaranya peserta didik, pendidik, dan orang
tua yang merasakan kebijakan UN tidak membawa kedamaian dan
kesejahteraan bagi rakyat,” jelas Sekjen FSGI Retno Listyarti dalam
jumpa pers di kantor LBH Jakarta, Jalan Diponegoro, Senin (12/12).
Menurutnya, FSGI mewakili kelompok masyarakat menyambut gembira
apabila di era Presiden Jokowi dan Mendikbud Muhadjir Effendi,
pelaksanaan UN benar-benar dihentikan.
Retno menjelaskan, terdapat delapan alasan proses UN harus segera
dimoratorium. Pertama, UN tidak terbukti meningkatkan kualitas
pendidikan seperti klaim Wapres Jusuf Kalla.
Berikut delapan alasan kenapa UN harus dimoratorium menurut Retno:
1. Secara pedagogis, UN membuat pembelajaran dan pengajaran menjadi
kering. Kebijakan penilaian pendidikan sebaiknya diserahkan guru dan
sekolah, sementara pemerintah punya tanggung jawab mengembangkan
kapasitas guru dalam mengajar dan menilai sehingga pembelajaran menjadi
lebih menyenangkan dan otentik.
2. Dengan standar pendidik minimal S1 sesuai pasal 29 ayat 1
Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 dan belum terpenuhinya standar sarana
prasarana pendidikan tidak mungkin dibuatkan soal UN yang berindikator
sama di seluruh wilayah Indonesia.
3. Memaksakan diri menyelenggarakan UN dengan standar soal berindikator
sama adalah tidak berkeadilan sesuai ketentuan pasal 66 ayat 2 PP
19/2005.
4. Sebagian besar guru Indonesia tidak bangga dengan hasil UN yang
diraih anak didiknya karena melihat dan mendengar sendiri proses
penyebaran kunci jawaban, bocoran soal, terlalu banyak pihak
berkentingan dengan hasil UN, yang masuk kategori pelanggaran UN
dilakukan tidak obyektif sesuai ketentuan pasal 66 ayat 2 PP 19/2005.
5. Hasil UN yang diharapkan adalah sebuah pemetaan mutu program
dan/atau satuan pendidikan,tapi kenyataan yang didapat adalah pemetaan
ketidakjujuran berbagai pihak, sehingga termasuk pada pelanggaran pasal
68 huruf (a) PP 19/2005.
6. Sepanjang UN dilaksanakan dengan rantai panjang dari pusat ke
daerah maka sepanjang itu pula peluang kebocoran soal begitu besar, dan
penyebaran kunci jawaban antar siswa sulit dibendung seiring dengan
kemajuan iptek sekarang ini.
7. UN yang dijadikan sebagai penentu kelulusan peserta didik sesuai
pasal 68 huruf (c) PP 19/2005 berpotensi dan memberi peluang dan menjadi
faktor pendorong banyak pihak untuk tidak jujur. Sehingga dalam
masyarakat sudah berkembang pola pikir dan akan menjadi hukum kebiasaan
berpendapat tentang UN hanya ada dua pilihan jujur tapi tidak lulus atau
tidak jujur tapi lulus.
8. Melalui UN yang pelaksanaannya tidak obyektif dan kompetensi
lulusan diragukan maka biaya penyelenggaraan UN ratusan miliar yang
dikeluarkan pemerintah tidak sebanding dengan harapan kepastian
pengukuran mutu dan pencapaian tujuan pendidikan yaitu mencerdaskan
kehidupan bangsa dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang
bermartabat,” jelas Retno.
Makanya, FSGI memberikan rekomendasi kepada pemerintah segera
menerbitkan keputusan moratorium UN. Penyelenggaraan UN secara berkala
bisa digelar setiap tiga atau lima tahun sekali, dan merevisi pasal 68
huruf (c) PP 19/2005 yang menjadikan UN sebagai penentu kelulusan.
Selain itu, dana UN yang dianggarkan tiap tahun hendaknya dialokasikan
pada pembiayaan pencapaian standar kompetensi pendidik dan pemenuhan
standar sarana prasarana pendidikan, terutama pelatihan untuk
meningkatkan kualitas guru.
“FSGI akan menyampaikan hasil kajian UN dan rekomendasinya kepada
Presiden Joko Widodo secara tertulis pada Selasa besok (13/12),” tegas
Retno.
sumber : pojoksatu.id
0 komentar:
Post a Comment