Banner 1

Wednesday 21 March 2018

Banyak Celah Korupsi Pilkada

 
BOGOR–RADAR BOGOR,Pemilihan bupati dan wakil bupati Bogor, rawan terhadap berba­­gai kecurangan. Demi tercipta pilkada yang bersih, di­butuhkan pengawasan semua pihak. Tak terkecuali, Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR)  yang konsen memberikan edukasi kepada masyarakat.
Salah satunya, melalui diskusi publik di Graha Pena Radar Bogor, kemarin (19/3). Peneliti Senior JPPR, Yusfitriadi mengungkapkan beberapa potensi praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemilu.
Pertama, kata dia, penyeleng­gara pemilu. Menurutnya, mere­ka melakukan praktik tersebut biasanya berupa suap dari paslon atau siapa pun yang ingin memenangkan proyek di KPU.
Ia menambahkan, menerima gratifikasi biasanya terjadi di akhir pilkada. Menurutnya, pengadaan barang dan jasa dalam bentuk alat peraga kampanye (APK) yang mengurangi kualitasnya serta pengubahan keputusan, misal salah satu calon yang seharusnya tidak lolos menjadi lolos.
Kedua, sambung dia, terjadi dari parpol dan bakal paslon yakni berupa rekayasa ad­ministrasi dukungan atau pembelian perahu. Sehingga, bapaslon lolos menjadi paslon. Ketiga, dari tim paslon dan pe­nyeleng­­gara itu bentuk korupsi­nya pada dana kampanye.
“Misal, mereka melakukan kampanye di mana, anggarannya berapa, berapa orang yang diikutsertakan, fasilitas apa yang diberikan, instrumen itu hingga hari ini mungkin luput oleh pengawasan panwas kita,” ungkapnya.
Potensi lainnya, Yus melanjutkan, terjadi di paslon dan masyarakat seperti politik uang, promosi jabatan, hingga anggaran pemerintah. Hasilnya, bisa memengaruhi pemilih.
Menurutnya, hal itu akan masif dilakukan. Dirinya berharap, Panwas bisa lebih tegas merespons hal tersebut.
Sebab, Panwaslah yang harus menjaminnya. “Ke mana lagi masyarakat harus meminta jaminan? Kalau mereka tidak bisa menjamin pemilu berjalan bersih dan beradab, buat apa kita memiliki mereka (Panwas),” tegasnya.
Terakhir, Yus membeberkan tentang celah gratifikasi institusi relasi penyelenggara pilkada. CEO Radar Bogor Grup Hazairin Sitepu mengatakan, diskusi kali ini bukan hanya mempersoalkan masalah tetapi juga menemukan cara terbaik apa yang harus dilakukan.
Paling tidak, kata dia, untuk mereduksi apa yang dikhawatirkan. Sebab, Hazairin pernah mendengar dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri) bahwa sejak 2004 ketika pemilu presiden pertama kali dipilih secara langsung hingga 2017, ada sebanyak 313 kepala daerah yang tertangkap dan menjadi tersangka korupsi.
Di antaranya, ada 12 gubernur hingga anggota dewan pusat serta daerah yang terjaring. Padahal, sambung Hazairin, bangsa Indonesia telah memilih demokrasi sebagai salah satu jalan terbaik untuk membangun masa depan bangsa ini.
Namun kenyataannya, mereka baik gubernur, wali kota, bupati hingga anggota dewan yang mengatakan memerangi korupsi justru tertangkap karena kasus korupsi.
“Saya pikir bangsa ini menuju arah berdemokrasi yang celaka karena menghasilkan produknya seperti itu,” ujarnya dalam diskusi publik bertema Potensi Korupsi
Pilkada di Kabupaten Bogor.
Jika di dalam dunia pendidikan, sambungnya, untuk menghasilkan output yang bagus maka input serta prosesnya juga harus bagus. Terutama bagian proses karena di situlah banyak komponen yang terlibat.
Seperti pelaksana pemilu itu sendiri, para calon, pengawas dan sebagainya. “Artinya bahwa ternyata produk demokrasi kita masih korup,” tuturnya.
Koordinator Divisi Jaringan Indonesia Corruption Watch (ICW), Abdullah Dahlan mengatakan, data terakhir yang dimiliki ada 300 lebih operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK dalam kurun waktu belum sampai empat bulan di tahun 2018 ini.
Mereka rata-rata pejabat daerah yang sebelumnya menjabat serta didukung oleh partai yang solid. Kaitannya ott dalam kasus tersebut yakni berupa suap proyek,
suap jabatan, suap perizinan, suap pengadaan barang dan jasa serta dugaan korupsi kasus pengadaan lahan. “Dalam momentum pilkada ada upaya menyalahgunakan wewenang yang irisannya sangat kuat dalam program politik,” ungkapnya.
ICW, sambungnya, memiliki catatan mengapa calon kepala daerah bermasalah. Di antaranya, partai tidak selektif dalam mengusung kandidat, mengusung kandidat terjebak dalam proses transaksional, proses kaderisasi partai yang tidak berjalan, dan partai belum maksimal sebagai wadah lahirnya pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.
“Partai juga berorientasi jangka pendek, misal, pragmatisme partai dalam mengusung calon yang berpeluang besar menang dan mengabaikan proses kaderisasi di
partai, contohnya calon tunggal, serta ruang partisipasi publik minim dalam turut andil mengusung figur ideal pemimpin daerah,” paparnya.
Politik transaksional ini, kata Dahlan, dimulai dari elite. Mereka ingin menanam dan memanen dengan cepat. Sebab, banyak calon yang juga baru lahir dan belum memiliki popularitas sebelumnya.
Banyak siasat untuk melakukan hal ini. Bahkan, saat ini modusnya berkembang. Ada aktornya, pemain tunggal antara pemberi dengan pemilih. Ada pula vote broker atau pengepul suara yang mengklaim memiliki suara lalu ditawarkan dengan harga tertentu. Menurutnya, politik uang menjadi ancaman serius dalam proses demokrasi. Karena bisa menggeser arah ideal pemilih.
“Idealnya mereka memilih berdasarkan visi misi dan program tapi diubah menjadi transaksional, ini sangat bahaya. Bahayanya pemilih permisif dengan praktik ini, maka langgenglah politik uang,” tegasnya.
Sebetulnya, kata Dahlan, fenomena tersebut hampir terjadi di seluruh wilayah Indonesia. Tetapi khusus di Bogor, menjadi parameter karakteristik. Sebab ada masyarakat perkotaan, urban, dan pedesaan. Sehingga menjadi sesuatu hal yang menarik.
“Soal politik uang sepertinya masih jadi cara praktis bagi kandidat untuk memengaruhi pilihan masyarakat karena tugas pendidikan politik relatif hanya dilakukan masyarakat sipil, parpol dan kandidat belum banyak yang turun,” imbuhnya.


sumber: radarbogor.id

0 komentar:

Post a Comment