BOGOR–RADAR BOGOR,Pemilihan bupati dan wakil
bupati Bogor, rawan terhadap berbagai kecurangan. Demi tercipta
pilkada yang bersih, dibutuhkan pengawasan semua pihak. Tak terkecuali,
Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) yang konsen memberikan
edukasi kepada masyarakat.
Salah satunya, melalui diskusi publik di Graha Pena Radar Bogor,
kemarin (19/3). Peneliti Senior JPPR, Yusfitriadi mengungkapkan beberapa
potensi praktik korupsi dalam penyelenggaraan pemilu.
Pertama, kata dia, penyelenggara pemilu. Menurutnya, mereka
melakukan praktik tersebut biasanya berupa suap dari paslon atau siapa
pun yang ingin memenangkan proyek di KPU.
Ia menambahkan, menerima gratifikasi biasanya terjadi di akhir
pilkada. Menurutnya, pengadaan barang dan jasa dalam bentuk alat peraga
kampanye (APK) yang mengurangi kualitasnya serta pengubahan keputusan,
misal salah satu calon yang seharusnya tidak lolos menjadi lolos.
Kedua, sambung dia, terjadi dari parpol dan bakal paslon yakni
berupa rekayasa administrasi dukungan atau pembelian perahu. Sehingga,
bapaslon lolos menjadi paslon. Ketiga, dari tim paslon dan
penyelenggara itu bentuk korupsinya pada dana kampanye.
“Misal, mereka melakukan kampanye di mana, anggarannya berapa,
berapa orang yang diikutsertakan, fasilitas apa yang diberikan,
instrumen itu hingga hari ini mungkin luput oleh pengawasan panwas
kita,” ungkapnya.
Potensi lainnya, Yus melanjutkan, terjadi di paslon dan masyarakat
seperti politik uang, promosi jabatan, hingga anggaran pemerintah.
Hasilnya, bisa memengaruhi pemilih.
Menurutnya, hal itu akan masif dilakukan. Dirinya berharap, Panwas bisa lebih tegas merespons hal tersebut.
Sebab, Panwaslah yang harus menjaminnya. “Ke mana lagi masyarakat
harus meminta jaminan? Kalau mereka tidak bisa menjamin pemilu berjalan
bersih dan beradab, buat apa kita memiliki mereka (Panwas),” tegasnya.
Terakhir, Yus membeberkan tentang celah gratifikasi institusi
relasi penyelenggara pilkada. CEO Radar Bogor Grup Hazairin Sitepu
mengatakan, diskusi kali ini bukan hanya mempersoalkan masalah tetapi
juga menemukan cara terbaik apa yang harus dilakukan.
Paling tidak, kata dia, untuk mereduksi apa yang dikhawatirkan.
Sebab, Hazairin pernah mendengar dari Menteri Dalam Negeri (Mendagri)
bahwa sejak 2004 ketika pemilu presiden pertama kali dipilih secara
langsung hingga 2017, ada sebanyak 313 kepala daerah yang tertangkap dan
menjadi tersangka korupsi.
Di antaranya, ada 12 gubernur hingga anggota dewan pusat serta
daerah yang terjaring. Padahal, sambung Hazairin, bangsa Indonesia telah
memilih demokrasi sebagai salah satu jalan terbaik untuk membangun masa
depan bangsa ini.
Namun kenyataannya, mereka baik gubernur, wali kota, bupati hingga
anggota dewan yang mengatakan memerangi korupsi justru tertangkap karena
kasus korupsi.
“Saya pikir bangsa ini menuju arah berdemokrasi yang celaka karena
menghasilkan produknya seperti itu,” ujarnya dalam diskusi publik
bertema Potensi Korupsi
Pilkada di Kabupaten Bogor.
Jika di dalam dunia pendidikan, sambungnya, untuk menghasilkan
output yang bagus maka input serta prosesnya juga harus bagus. Terutama
bagian proses karena di situlah banyak komponen yang terlibat.
Seperti pelaksana pemilu itu sendiri, para calon, pengawas dan
sebagainya. “Artinya bahwa ternyata produk demokrasi kita masih korup,”
tuturnya.
Koordinator Divisi Jaringan Indonesia Corruption Watch (ICW),
Abdullah Dahlan mengatakan, data terakhir yang dimiliki ada 300 lebih
operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK dalam kurun waktu belum
sampai empat bulan di tahun 2018 ini.
Mereka rata-rata pejabat daerah yang sebelumnya menjabat serta
didukung oleh partai yang solid. Kaitannya ott dalam kasus tersebut
yakni berupa suap proyek,
suap jabatan, suap perizinan, suap pengadaan barang dan jasa serta
dugaan korupsi kasus pengadaan lahan. “Dalam momentum pilkada ada upaya
menyalahgunakan wewenang yang irisannya sangat kuat dalam program
politik,” ungkapnya.
ICW, sambungnya, memiliki catatan mengapa calon kepala daerah
bermasalah. Di antaranya, partai tidak selektif dalam mengusung
kandidat, mengusung kandidat terjebak dalam proses transaksional, proses
kaderisasi partai yang tidak berjalan, dan partai belum maksimal
sebagai wadah lahirnya pemimpin yang berkualitas dan berintegritas.
“Partai juga berorientasi jangka pendek, misal, pragmatisme partai
dalam mengusung calon yang berpeluang besar menang dan mengabaikan
proses kaderisasi di
partai, contohnya calon tunggal, serta ruang partisipasi publik
minim dalam turut andil mengusung figur ideal pemimpin daerah,”
paparnya.
Politik transaksional ini, kata Dahlan, dimulai dari elite. Mereka
ingin menanam dan memanen dengan cepat. Sebab, banyak calon yang juga
baru lahir dan belum memiliki popularitas sebelumnya.
Banyak siasat untuk melakukan hal ini. Bahkan, saat ini modusnya
berkembang. Ada aktornya, pemain tunggal antara pemberi dengan pemilih.
Ada pula vote broker atau pengepul suara yang mengklaim memiliki suara
lalu ditawarkan dengan harga tertentu. Menurutnya, politik uang menjadi
ancaman serius dalam proses demokrasi. Karena bisa menggeser arah ideal
pemilih.
“Idealnya mereka memilih berdasarkan visi misi dan program tapi
diubah menjadi transaksional, ini sangat bahaya. Bahayanya pemilih
permisif dengan praktik ini, maka langgenglah politik uang,” tegasnya.
Sebetulnya, kata Dahlan, fenomena tersebut hampir terjadi di
seluruh wilayah Indonesia. Tetapi khusus di Bogor, menjadi parameter
karakteristik. Sebab ada masyarakat perkotaan, urban, dan pedesaan.
Sehingga menjadi sesuatu hal yang menarik.
“Soal politik uang sepertinya masih jadi cara praktis bagi kandidat
untuk memengaruhi pilihan masyarakat karena tugas pendidikan politik
relatif hanya dilakukan masyarakat sipil, parpol dan kandidat belum
banyak yang turun,” imbuhnya.sumber: radarbogor.id
0 komentar:
Post a Comment