BOGOR – Wabah lesbian, gay, biseksual dan
transgender (LGBT) mulai menyebar hingga ke pelosok desa. Budaya yang
permisif atau serba boleh, menjangkiti anak muda dari kalangan menengah
ke bawah.
Pendatang yang diduga mengidap cinta sejenis dituding membawa dampak
negatif. Sebut saja Juleha (nama samaran). Gadis berusia 20 tahun ini
berparas manis. Rambutnya ikal hingga sepinggang.
Kulitnya juga kuning langsat mirip salah satu bintang FTV. Sekilas
terlihat tato Hello Kitty di dadanya dan namanya di lengan bagian
kanan. Dengan tinggi mencapai 165 cm, lelaki mana yang tak tertarik
kepadanya.
Namun Juleha berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya. Ia justru lebih
tertarik kepada perempuan. Ya, ia merupakan salah satu pecinta sesama
jenis.
Juleha sudah lama menjadi lesbian sejak 2014 silam. Yakni sejak
tamat dari bangku SMK swasta di Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor. Ia
mengaku, menjadi lesbi saat bekerja sebagai pemandu lagu (PL) di salah
satu tempat hiburan malam (THM).
Perubahan itu ia rasakan saat melayani tamu di tempatnya bekerja.
Juleha didatangi lelaki berparas tampan, sebut saja Bondol. Ia bahkan
sempat berkenalan dan saling tukar nomor telepon.
Juleha langsung akrab dengannya karena sering antar jemput dari
kontrakannya di Desa Pondok Udik, Kecamatan Kemang ke tempat kerjanya.
Setelah lama menjalin hubungan, ia baru mengetahui kalau Bondol adalah
perempuan.
“Kami sering bermesraan hingga melakukan hubungan intim. Sejak saat itu, mulai pacaran sama dia,” ujarnya.
Gadis asal Desa Pabuaran, Kecamatan Kemang ini pun terjerumus
pergaulan bebas. Ia mulai hobi dugem, minuman beralkohol dan merelakan
tubuhnya ditato. Meski menjalin hubungan dengan perempuan, Juleha
mengaku masih menyukai lawan jenis.
”Mau laki-laki maupun perempuan sih, sama saja. Tapi Bondol suka uring-uringan kalau ada cowok dekat sama saya,” bebernya.
Bondol, tambahnya, bukan warga asli Kecamatan Kemang. Ia merupakan
pendatang yang kos disana. Sang kekasih tidak tinggal sendirian. Ia
ditemani empat wanita penyuka sesama jenis. Mereka disebut butchy
(laki-laki) dan famme (perempuan).
“Kalau kami sering di mana saja. Suka kumpul juga di salah satu hotel di Parung. Tapi ada juga yang di Kemang,”ucapnya.
Untuk para Butchy, memiliki lokasi berkumpul di sebuah bengkel di
kawasan Mawar, Kota Bogor. Di komunitas itu, lebih dari 200 LGBT sering
mencari hiburan di Kemang dan Parung.
“Tempat dugem kan banyak disana. Kalau di Kota Bogor suka kena razia,” tukasnya.
Menanggapi virus LGBT di pedesaan, Camat Kemang, Wahyu Hadi Setiono
meminta semua pihak terlibat dalam menangkal wabah tersebut. Misalnya,
keberadaan warung remang-remang yang mengundang dampak negatif bagi
warga.
“Tidak hanya di kota. Di desa juga kemungkinan hal itu bisa terjadi.
Kami harus hilangkan yang negatif agar tidak bertambah,” ujarnya.
Wahyu menilai, lokasi prostisusi atau warung remah dapat hilang. Hal
perlu didorong dari keinginan masyarakat untuk menjaga bersama
lingkungannya. Contoh, pengembangan pusat keagamaan.
“Buktinya seperti lokalisasi Kramat Tungga, Jakarta. Saat ini di sana, sudah menjadi Islamic Center,” tutupnya.(ent)
0 komentar:
Post a Comment