Banner 1

Tuesday, 2 August 2016

Ketika Butchy Berburu Hingga ke Desa Kabupaten Bogor

BOGOR – Wabah lesbian, gay, biseksual dan transgender (LGBT) mulai menyebar hingga ke pelosok desa. Budaya yang permisif atau serba boleh, menjangkiti anak muda dari kalangan menengah ke bawah.
Pendatang yang diduga mengidap cinta sejenis dituding membawa dampak negatif. Sebut saja Juleha (nama samaran). Gadis berusia 20 tahun ini berparas manis. Rambutnya ikal hingga sepinggang.

Kulitnya juga kuning langsat mirip salah satu bintang FTV. Sekilas terlihat tato Hello Kitty di dadanya dan namanya di lengan bagian kanan.  Dengan tinggi mencapai 165 cm, lelaki mana yang tak tertarik kepadanya.
Namun Juleha berbeda dengan kebanyakan gadis lainnya. Ia justru lebih tertarik kepada perempuan. Ya, ia merupakan salah satu pecinta sesama jenis.
Juleha sudah lama menjadi lesbian sejak  2014 silam. Yakni sejak tamat dari bangku SMK swasta di Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor.  Ia mengaku, menjadi lesbi saat bekerja sebagai pemandu lagu (PL) di salah satu tempat hiburan malam (THM).

Perubahan itu ia rasakan saat melayani tamu di tempatnya bekerja. Juleha didatangi lelaki berparas tampan, sebut saja Bondol. Ia bahkan sempat berkenalan dan saling tukar nomor telepon.
Juleha langsung akrab dengannya karena sering antar jemput dari kontrakannya  di Desa Pondok Udik,  Kecamatan Kemang ke tempat kerjanya. Setelah lama menjalin hubungan, ia baru mengetahui kalau Bondol adalah perempuan.
“Kami sering bermesraan hingga melakukan hubungan intim. Sejak saat itu, mulai pacaran sama dia,” ujarnya.
Gadis asal Desa Pabuaran, Kecamatan Kemang ini pun terjerumus pergaulan bebas. Ia mulai hobi dugem, minuman beralkohol dan merelakan tubuhnya ditato. Meski menjalin hubungan dengan perempuan, Juleha mengaku masih menyukai lawan jenis.

”Mau laki-laki maupun perempuan sih, sama saja. Tapi Bondol suka uring-uringan kalau ada cowok dekat sama saya,” bebernya.
Bondol, tambahnya, bukan warga asli Kecamatan Kemang. Ia merupakan pendatang yang kos disana. Sang kekasih tidak tinggal sendirian. Ia ditemani empat wanita penyuka sesama jenis.  Mereka disebut butchy (laki-laki) dan famme (perempuan).
“Kalau kami sering di mana saja. Suka kumpul juga di salah satu hotel di Parung. Tapi ada juga yang di Kemang,”ucapnya.

Untuk para Butchy, memiliki lokasi berkumpul di sebuah bengkel di kawasan Mawar, Kota Bogor. Di komunitas itu, lebih dari 200 LGBT sering mencari hiburan di Kemang dan Parung.
“Tempat dugem kan banyak disana. Kalau di Kota Bogor suka kena razia,” tukasnya.
Menanggapi virus LGBT di pedesaan, Camat Kemang, Wahyu Hadi Setiono meminta semua pihak terlibat dalam menangkal wabah tersebut.  Misalnya, keberadaan warung  remang-remang yang mengundang dampak negatif bagi warga.

“Tidak hanya di kota. Di desa juga kemungkinan hal itu bisa terjadi. Kami harus hilangkan yang negatif agar tidak bertambah,” ujarnya.
Wahyu menilai, lokasi prostisusi atau warung remah dapat hilang. Hal perlu didorong dari keinginan masyarakat untuk menjaga bersama lingkungannya.  Contoh, pengembangan pusat keagamaan.
“Buktinya seperti lokalisasi Kramat Tungga, Jakarta. Saat ini di sana, sudah menjadi Islamic Center,” tutupnya.(ent)

0 komentar:

Post a Comment