SDN Raibasin yang menampung anak-anak WNI eks Timor Leste berlantai tanah, berdinding seng, dan tanpa jendela. Meja dan guru pun bantuan sekolah sekitar. Tapi, jangan tanya soal semangat para siswanya untuk belajar.
BAYU PUTRA, Belu
MASIH ingat gambaran sekolah dalam Laskar Pelangi karya Andrea Hirata? Kurang lebih seperti itu pula kondisi SDN Raibasin. Bedanya, bangunannya berdiri tegak. Tidak doyong seperti sekolah yang ditempati Ikal dkk dalam novel laris yang kemudian difilmkan tersebut.
Bangunan sekolah di Desa Manleten, Kecamatan Tasifeto Timur, Kabupaten Belu, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu hanya terdiri atas satu deret sepanjang 30 meter. Dengan lebar 5 meter. Atap dan dindingnya terbuat dari seng.
Bangunannya dibagi menjadi lima ruangan. Empat ruang kelas dan satu ruang guru. Antara ruang satu dan lainnya disekat dengan papan. Lantainya? Tanah, sama seperti lapangan di depan sekolah. Sementara tiang-tiang penyangga bangunan hanyalah kayu-kayu yang tampak sekali bahwa itu kayu bekas.
Tapi, jangan tanya soal semangat para murid. Seperti juga Ikal, Lintang, Mahar dkk di Laskar Pelangi, para siswa SDN Raibasin pun tak pernah menganggap segala keterbatasan fasilitas sekolah mereka sebagai hambatan. ”Saya nyaman belajar di sini. Semua pelajaran bisa saya ikuti dengan baik,” kata Tania Gomez Moniz, siswi kelas III, kepada Jawa Pos (Grup Radar Bogor) yang berkunjung ke sekolah itu 10 Maret lalu.
Tidak ada listrik dan jendela di kelas di sekolah yang total memiliki 88 siswa tersebut. Agar tetap ada cahaya, pintu kelas harus dibuka selama pelajaran berlangsung. Konsekuensinya, bila hujan turun, suara guru pun akan kalah dengan tetesan air yang menghunjam lempengan seng. Saat cuaca terik dan kering, kadang angin akan membawa debu di lapangan masuk ke dalam kelas.
Ke-88 siswa seluruhnya berasal dari tiga dusun, yakni Raibasin, Halifunan, dan Borateto. SDN Raibasin memang didirikan dengan dua tujuan. Pertama, memfasilitasi anak-anak WNI kelahiran Timor Timur (kini Timor Leste) yang sering disebut warga baru. Tujuan lain, mendekatkan sekolah dengan tempat tinggal para siswa.
Belu yang beribu kota di Atambua memang berbatasan langsung dengan Timor Leste. Agus Tinho Pinto, penggagas sekolah yang baru beroperasi pada tahun ajaran 2015–2016 itu, juga kelahiran bekas provinsi ke-27 Indonesia tersebut.
Anggota DPRD Belu itu mengaku hanya menyediakan tanah. Wargalah yang kemudian bergotong royong membangun sekolah tersebut semampunya. ”Yang penting bangunan berdiri tegak. Jadi, warga bisa menyekolahkan anak-anak mereka tidak jauh dari rumah,” tutur Agus.
Tak dinyana, belum lama sekolah yang letaknya tak jauh dari Atambua itu berdiri, Pemerintah Kabupaten Belu memberikan status sekolah negeri. Sehingga SDN
Raibasin bisa mendapatkan dana bantuan operasional sekolah (BOS).
Ester Lika Mali, salah seorang guru di SDN Raibasin, menerangkan, ke-88 siswa terbagi ke dalam tiga rombongan belajar. Masing-masing kelas I (23 anak), kelas II (21), dan kelas III (44). ”Untuk kelas III kami bagi menjadi dua kelas,” ucapnya kepada Jawa Pos.
Sebetulnya, imbuh Ester, ada sekolah lain yang jaraknya beberapa kilometer dari sekolahnya yang sekaligus menjadi induk sekolah tersebut. Yakni SDN Haekriit. Namun, jarak menjadi persoalan tersendiri bagi para siswa. ”Mereka harus naik ojek setiap hari dan itu mahal,” lanjutnya.
Selain itu, berjalan kaki tentu berbahaya bagi siswa. Sebab, jalurnya merupakan jalur utama yang mengarah ke perbatasan dengan Timor Leste. Sedangkan SDN Raibasin memiliki letak yang strategis di antara tiga dusun. Paling jauh, siswa hanya perlu berjalan kurang dari 1 kilometer untuk bisa sampai ke sekolah.
Sebagaimana sekolah negeri umumnya di NTT, SDN Raibasin sangat bergantung pada dana BOS. Tidak mungkin menarik biaya kepada para orang tua siswa yang kebanyakan berasal dari kalangan tidak mampu. Mayoritas orang tua siswa bekerja di kebun. Sebagian lainnya bahkan tidak punya pekerjaan tetap.
Selain bangunan yang seadanya, bangku dan meja sekolah pun berasal dari sumbangan beberapa sekolah di sekitar yang punya cadangan. Bahkan, guru-gurunya pun merupakan guru SDN Haekriit yang diperbantukan. Perinciannya, 4 guru berstatus PNS (pegawai negeri sipil), 1 guru kontrak, 6 guru mata pelajaran, 1 operator, plus kepala sekolah. Selain itu, para guru belum punya pegangan buku materi. Mereka mengajar dengan menggunakan buku milik sekolah lain.
Jangan tanya buku untuk anak-anak. Untuk buku tulis saja, hanya sebagian murid yang punya. Salah satunya Tania. ”Saya belajar bahasa Indonesia, matematika, IPA, IPS, dan agama,” ucapnya. Tapi, sebagaimana siswa lain, Tania tidak mendapat buku materi dari sekolah. ”Kalau belajar, pikir saja,” lanjut bocah 9 tahun itu.
Dalam arti, Tania hanya mengingat-ingat apa yang disampaikan guru di kelas. Sambil sesekali melihat kembali buku catatannya. Itulah bahan yang dia andalkan untuk ujian tengah semester yang bakal berlangsung akhir bulan ini.
Ester mengungkapkan, kepala sekolah dan ketua komite saat ini sedang memperjuangkan ke Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kabupaten Belu agar sekolah tersebut bisa mendapatkan gedung baru. Namun, sejauh ini belum ada kepastian. Apakah sekolah itu akan diperbaiki tahun ini atau masih harus menunggu.
Meskipun demikian, Ester melihat semangat belajar para siswa tetap tinggi. ”Mereka merasa nyaman. Setiap hari mereka hadir di sekolah tepat waktu,” ujarnya.
Antusiasme tersebut juga terlihat pada Sabtu pagi tiga pekan lalu itu. Ketika lonceng berbunyi, dengan segera para siswa berlarian menuju kelas masing-masing. Sebagian di antaranya tak mengenakan sepatu.
Kalau sebagian sekolah di Belu menghadapi problem kelangkaan murid, yang terjadi di SDN Raibasin justru sebaliknya. Menurut Ester, peminat sekolah tersebut cukup banyak. Namun, tidak mungkin pihaknya menerima semuanya. ”Daya tampung kami tidak mencukupi,” ujar guru 53 tahun itu.
Dari 31 siswa yang mendaftar di tahun ajaran 2017–2018, terpaksa hanya 21 yang diterima. Selebihnya diarahkan ke SDN Matitis yang berjarak sekitar 2 kilometer dari SDN Raibasin. Secara lahan, SDN Raibasin sebenarnya masih bisa leluasa membangun. Masih luas. ”Begitu ada anggaran, nanti kami buat setidaknya memanjang seperti huruf L,” terang Agus.
Tentunya dengan dinding yang dibikin bertembok pula. Jadi, bangunannya permanen. ”Dengan dinding seng saja kami semangat belajar, apalagi kalau ada temboknya,” kata Tania.
Hari kian beranjak siang. Jam istirahat baru saja selesai. Celoteh para murid di kelas terdengar jelas dari ruang guru. Beberapa siswa tampak masuk ruang tempat Jawa Pos berbincang dengan Ester. Meminta kapur tulis karena persediaan di kelas habis. Mereka tak sabar menunggu pelajaran berikutnya.
sumber:
radarbogor.id