Banner 1

Tuesday 16 February 2016

DBD Teror Warga Kota Bogor





BOGOR – Korban meninggal akibat penyakit demam berdarah dengue (DBD), ternyata semakin meluas. Jika ditelisik lebih jauh, sebelum Rizki Rizana, bocah 10 bulan yang meninggal diduga karena DBD, Sabtu (13/2) lalu. Ternyata, di RW yang sama di Kelurahan Tegalgundil, juga pernah ada korban dengan kasus serupa.Adalah Rendi Mei Fitra (18), yang meninggal pada 18 Januari lalu. Rumahnya tidak jauh dari rumah Rizki. Ayah korban, Edi Supardi (60) mengatakan, pada mulanya, anaknya mengalami demam di salah satu rumah keluarganya RT 01/01 Tegalgundil. Setelah itu, anaknya sempat beristirahat di rumah orang tuanya, di RT 04/01. Karena keadaannya semakin parah, korban dibawa ke RS PMI Jalan Pajajaran. 

"Badan anak saya panas dan ada gelembung di kulit. Kemungkinan DBD. Cek darah sudah dilakukan. Sempat dirawat di RS PMI di Ruang Gardenia atau ICU," ungkap Edi di rumahnya, kemarin (15/2).

Ketua RT 04/01 Deni Ismawani mengatakan hal serupa. Sekitar sebulan yang lalu, salah seorang warga di RT 04, yaitu Rendi Mei Fitra juga meninggal karena mengalami demam panas. Awalnya, korban mengalami demam di RT 01 atau RT yang bersebelahan dengan RT 04.  "Kalau untuk data lengkapnya ada di RS PMI. Karena korban sempat dirawat di sana," jelasnya.

    Dikonfirmasi, Humas RS PMI Kota Bogor Yudha tidak bisa memberikan hasil rekam medis Rendi Mei Fitria. Data itu hanya bisa diambil oleh orang tua atau keluarganya. Dia pun menyarankan, agar hal itu ditanyakan langsung kepada keluarga Rendi. "Hal ini lebih baik ditanyakan kepada orang tuanya," jelasnya. 

    Terpisah, Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bogor Rubaeah mengatakan, tim survei yang diwakili kepala puskesmas dan bidan di wilayah Tegalgundil, Bogor Utara, sudah ke rumah Rizki Rizana, Minggu (14/2) malam. Menurut data yang diterimanya, bayi malang itu meninggal disebabkan pneumonia atau radang paru, dan bukan karena DBD.

    "Semua penyakit virus mengalami demam, bayi ini ada sesaknya. Itu ciri-ciri radang paru, kalau DBD tak sesak. Dan harus dibuktikan dengan hasil laboratorium, trombosit, hematokrit, dan NS1," katanya.  

    Menurut dia, pihaknya bertanggung jawab penuh pada kondisi kesehatan masyarakat Kota Bogor. Karena itu, semua kematian harus ada penyebabnya dengan bukti-bukti pemeriksaan.  "Kita juga sudah pernah fogging di wilayah tersebut. Kami selalu tanggung jawab dengan kesehatan masyarakat Kota Bogor," katanya.

    Dia kembali menyebutkan bahwa Dinkes sudah turun tangan ke wilayah itu. Bahkan, surveilence sudah turun langsung ke orang tua korban pada Minggu malam. Justru yang harus dilakukan oleh masyarakat di sana, menurut dia, adalah pemberantasan sarang nyamuk (PSN) dengan 3M (menguras, menimbun dan mengubur), untuk menurunkan dan mencegah kasus DBD.

    Sementara, dilansir dari laman www.infodemam.com yang diasuh dr Widodo Judarwanto P,    sering kali seorang pasien didiagnosis tifus dan diobati sebagai penyakit tifus. Padahal dia hanya menderita penyakit infeksi virus saluran napas biasa, atau bahkan, dia mengalami penyakit DBD atau infeksi dengue lainnya.

    Hal ini terjadi bila seorang dokter mengobati dan menangani penyakit hanya berdasarkan hasil laboratorium, tidak melihat latar belakang perjalanan penyakit dan pemeriksaan fisik yang cermat. 

    Hal ini harus cermat karena pemeriksaan IgG tifus atau widal sangat sensitif, sering menimbulkan interpretasi false positif. Artinya, tidak mengalami penyakit tifus tetapi hasil laboratorium petanda tifus meningkat.
    Penyakit tifus, infeksi virus saluran napas, DBD atau infeksi dengue lainnya, bila tidak cermat, sering kali sulit dibedakan. DBD adalah penyakit infeksi yang demikian ganas. Bila terlambat ditangani, dalam beberapa hari, bahkan dalam hitungan jam, kondisi anak bisa masuk dalam keadaan kritis.  

    Ada kalanya seorang penderita DBD terlambat dalam penegakan diagnosis. Saat hari pertama demam didiagnosis dokter sebagai infeksi tenggorokan, kemudian hari berikutnya berubah diagnosisnya menjadi penyakit campak. Saat hari ketiga, setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium ditambah diagnosis gejala tifus. 

    Baru saat hari keempat dan kelima, keadaan memburuk dan meninggal. Ternyata, diagnosis penyebab kematiannya adalah DBD. Hal ini sering kali terjadi karena pemeriksaan widal untuk mengidentifikasi penyakit tifus sering kali sangat sensitif, sehingga pada penderita DBD, meski tidak mengalami penyakit tifus, hasilnya widal positif tinggi.

    Sebelumnya, Rizki Rizana meninggal dunia Sabtu (13/2) pagi, ketika dalam perjalanan ke RS Marzuki Mahdi Kota Bogor. Kematian Rizki menambah daftar korban DBD di Kota Hujan menjadi tiga orang. Pada Januari lalu, dua warga Bogor juga meninggal dunia akibat gigitan nyamuk Aedes Aegypti itu (ent)

0 komentar:

Post a Comment