JAKARTA - Akhir pekan kemarin, seluruh Kepolisian Daerah (Polda) menerima Surat Telegram dari
Kapolri Jenderal Badrodin Haiti. Isinya bersifat penting dan mendesak. Semua
jajaran Polri diminta mewaspadai ancaman teroris dengan modus racun sianida.
Sebab, sasaran dari kelompok teroris merupakan personel polisi.
Untuk
mengantisipasinya, maka semua anggota Polri diwajibkan lebih hati-hati terhadap
pemberian makanan dan minuman saat bertugas.
“Ya, harus lebih waspadalah. Ancaman menggunakan racun itu tidak
hanya sekarang, dulu juga pernah,” tuturnya.
Kemudian,
petugas juga harus menggunakan pelindung tubuh atau rompi anti peluru saat
bertugas. Saat bertugas itu ada juga ada satu orang yang harus mengawasi
keadaan. ”Tentunya, mengantisipasi keadaan yang tidak diinginkan,” ujarnya.
Badrodin
mengatakan, informasi terkait rencana kelompok teroris yang akan menggunakan
modus sianida didapatkan dari intelijen. Karena itu, meskipun belum ada korban,
namun harus diwaspadai.
Mantan
Kapolda Jawa Timur itu juga tidak menampik jika kelompok tersebut menjadikan
kasus kematian Wayan Mirna Salihin sebagai inspirasi. Sebab itu, Badrodin
menegaskan, ancaman terorisme terhadap Polri bisa dalam bentuk bom, penembakan
maupun racun.
Selain
itu, Badrodin Haiti mengungkapkan bahwa memang terdapat baku tembak di Bima
Senin pagi (15/2). Dalam baku tembak itu terdapat seorang terduga anggota
teroris bernama Fajar yang tertembak. ”Fajar ini ternyata juga anggota kelompok
teror Santoso. Lalu ada dua anggota kelompok teror yang juga ditangkap,”
paparnya.
Dalam
baku tembak itu, diamankan sebuah senjata revolver. Senjata revolver ini yang
digunakan Fajar untuk melawan Densus 88 Anti Teror. Setelah diperiksa, ternyata
senjata tersebut merupakan senjata organik Polri. ”Senjata itu tercatat milik
Kapolsek Ambalawi, Bima AKP Abdul Salam,” ujarnya.
Abdul
Salam tewas pada Agustus 2014 dengan luka tembak di kepala. Dengan penemuan
senjata milik Abdul Salam ini dapat diketahui bahwa Fajar merupakan pelaku
penembakan terhadap Kapolsek tersebut. ”Ini orang yang menembak Kapolsek itu,”
tuturnya.
Tidak
hanya itu, Fajar dan dua orang yang tertangkap ini juga terlibat penembakan
terhadap anggota polisi di Poso. ”Jadi, mereka memang menargetkan pada polisi,”
ujarnya ditemui di Komplek Mabes Polri kemarin.
Menurut
dia, memang ada keterkaitan antara kelompok teror Santoso cs dengan kelompok
teror di Bima. Polri mengetahui bahwa istri kedua dari Santoso cs ini merupakan
warga Bima. ”Dia yang merekrut beberapa orang asal Bima untuk menjadi anggota
Santoso cs,’ paparnya.
Kebetulan,
di Bima juga terdapat kelompok teror yang sepaham dengan Santoso cs. Karena
itulah kemudian, banyak anggota kedua kelopok teror yang saling membantu. ”Kadang
ke Poso dan balik lagi ke Bima,” tuturnya.
Soal
lokasi dari istri kedua Santoso, dia menuturkan bahwa Istri keduanya ikut
tinggal di perbukitan Poso. Dia ikut bersama kelompok Poso dan sering terlibat
aksi tembak menembak dengan anggota Polri. ”Kalau istri pertamanya tidak
ikut-ikut Santoso cs ya,” paparnya.
Pada
kesempatan itu, Kapolri Jenderal Badrodin Haiti juga meminta DPR bisa melakukan
penguatan terhadap densus 88 anti teror. Penguatan itu bisa melalui revisi UU
antiterorisme, atau peningkatan sarana dan prasarana. “Kami minta dukungannya,”
kata Badrodin. Terutama, dengan berkaca pada aksi terorisme di Thamrin beberapa
waktu lalu.
Di
bagian lain, pemerintah pun kini sedang berancang-ancang kembali menghadapi
potensi teror. Namun, seperti deteksi yang sempat dilakukan sebelum terjadinya
serangan Thamrin pada pertengahan Januari 2016 lalu, pemerintah dan aparat juga
belum bisa memastikan waktu dan tempatnya.
”Kami
tahu, mereka (teroris, Red) sudah mau menyerang sekarang ini, pengumuman ini
seperti dulu kami umumkan pada Desember 2015,” beber Menteri Koordinator
Polhukam Luhut Pandjaitan, saat rapat gabungan bersama Komisi I dan II, di
Komplek Parlemen, Jakarta, kemarin (15/2).
Dia
menyatakan, berdasar informasi yang diterimanya tersebut, pemerintah dan aparat
baru sebatas bisa melakukan pemantauan. "Sekarang, kita lihat, Februari
ada atau tidak," tandasnya.
Meski
sama seperti deteksi terdahulu, dia menegaskan kalau tidak ada istilah
kecolongan dalam penanganan aksi terorisme. Sebab, menurut dia, secanggih
apapun operasi intelijen, tetap tak bisa menebak waktu dan posisi serangan
teroris. ”Karena aksi itu menyangkut orang dan hati, maka dari itu kami kejar
terus,” tandasnya.
Luhut
menambahkan sulitnya mengetahui waktu dan tempat secara persis aksi terorisme
bukan hanya dirasakan Indonesia. ”Tidak ada satupun intelijen negara yang tahu
soal besok atau lusa akan terjadi teror. Kalau ada, kami bisa belajar,”
tandasnya.
Meski
demikian, dia menegaskan, kalau pemerintah dan aparat tidak akan bernegoisasi
dalam hal penindakan terhadap para teroris. Setiap ada serangan, serbuan akan
langsung dikerahkan tanpa kompromi.”Begitu (teroris) attack langsung serbu,
tidak beri waktu konsolidasi,” tegas purnawirawan jenderal tersebut.
Selain
Luhut, hadir pula dalam rapat gabungan Kapolri Jenderal Badrodin Haiti,
Menkumham Yasonna Laoly, dan Wakabin Torry Johar. Dalam rapat, sejumlah sorotan
dari anggota DPR sempat dialamatkan pada pemerintah dan aparat dalam hal
penanganan terorisme di tanah air.
Rapat
gabungan tersebut diantaranya juga membicarakan revisi UU Terorisme yang
drafnya sudah masuk ke DPR. Secara garis besar, pemerintah berharap DPR segera
menuntaskan pembahasan dalam masa sidang kali ini yang bakal berakhir pada
Maret 2016 mendatang.
Ketua
Komisi I Mahfudz Siddiq menambahkan, bagaimanapun juga aparat keamanan telah
kecolongan. Mestinya, tambah dia, berdasar deteksi dini yang dilakukan, upaya
cegah tangkal bisa dilakukan.
“Beruntung, dibayar dengan kesigapan, kecepatan
mengatasi pasca ledakan, ada kesiagaan,” kata Mahfudz.(jpg/ent)
0 komentar:
Post a Comment