JAKARTA-RADAR BOGOR, Komisi II DPR menyambut baik rencana pemerintah dan KPU untuk merevisi Undang-Undang Pilkada. Khususnya mengenai pencalonan kepala daerah berstatus eks koruptor.
Komisi yang membidangi masalah pemerintahan itu juga mendukung norma larangan bekas napi korupsi untuk menjadi calon kepala daerah.
Wakil Ketua Komisi II Ahmad Riza Patria menyatakan, pihaknya mendukung berbagai upaya pemerintah, KPU, dan masyarakat untuk menjadikan kualitas kepala daerah lebih baik. Salah satunya mengajukan revisi Undang-Undang Pilkada sebagai dasar pelaksanaan pilkada.
Politikus Partai Gerindra itu menyatakan, pihaknya juga mendukung jika pemerintah maupun KPU mengajukan norma larangan bagi eks napi korupsi untuk menjadi calon kepala daerah. Langkah itu merupakan bentuk pencegahan terhadap tindak pidana korupsi.
Selama ini, rencana revisi UU Pilkada belum pernah disampaikan kepada komisi II. Pihaknya masih menunggu langkah selanjutnya dari pemerintah maupun KPU. Tentu, kata Riza, persoalan itu perlu dibahas bersama komisi II sebelum revisi undang-undang diajukan.
Selain larangan bagi bekas napi korupsi untuk menjadi kepala daerah, Riza mengusulkan agar revisi UU Pilkada juga menyertakan larangan politik dinasti di daerah. Misalnya, jika seorang kepala daerah sudah selesai masa jabatannya, dia tidak boleh mengajukan anggota keluarga maupun kerabatnya sebagai calon kepala daerah.
“Mereka baru boleh mencalonkan diri setelah lima tahun jabatan strategis itu diisi orang lain,” ungkapnya.
Ketua DPP Partai Gerindra itu menyatakan, aturan tersebut perlu dicantumkan dalam UU Pilkada agar tidak tercipta kerajaan kecil di daerah. Selama ini, politik dinasti diwarnai berbagai tindak pidana korupsi.
Nihayatul Wafiroh, wakil ketua komisi II, mengungkapkan, pihaknya juga mendukung jika pemerintah maupun KPU mengajukan revisi UU Pilkada. “Kalau pemerintah atau partai-partai meminta, tentu bisa dimasukkan ke dalam prolegnas,” terang dia.
Mengenai larangan eks napi korupsi menjadi calon kepala daerah, Ninik, sapaan akrab Nihayatul Wafiroh, menyatakan hal itu sangat bergantung pada partai politik (parpol). Jika partai melakukan seleksi calon kepala daerah dengan ketat, tidak akan ada eks napi korupsi yang dicalonkan.
Sebenarnya, larangan itu sama dengan larangan bekas koruptor menjadi calon anggota legislatif yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU). Aturan itu akhirnya dibatalkan Mahkamah Agung (MA). Jadi, yang paling penting dalam seleksi calon kepala daerah adalah partai. “Ada atau tidak aturan itu, menurut saya tidak berpengaruh jika partai kenceng dalam seleksi,” tutur politikus PKB itu.
Yang terpenting sekarang, lanjut dia, partai harus mempunyai komitmen untuk mencegah korupsi. Salah satunya tidak mengusung calon yang bermasalah dengan hukum.
Sementara itu, Komisioner KPU Pramono Ubaid Tanthowi mengapresiasi pemerintah dan DPR yang kembali membuka peluang revisi UU Pilkada. “Sehingga apa yang diusung KPU mengenai larangan mantan napi koruptor untuk dicalonkan lagi dalam pilkada mendapatkan landasan hukum yang lebih kukuh,” terangnya seusai diskusi di kawasan Jakarta Selatan kemarin.
KPU punya pengalaman buruk ketika larangan tersebut diatur dalam Peraturan KPU pada Pemilu 2019 lalu. Ada yang menggugatnya ke Mahkamah Agung dan dikabulkan. Alhasil, KPU harus gigit jari karena eks koruptor boleh nyaleg. “Kalau itu dituangkan dalam revisi Undang-Undang Pilkada, kami berharap gagasan tersebut dirumuskan secara lebih tegas,” lanjutnya.
Pada Pemilu 2019, eks koruptor hanya mencalonkan diri di level DPRD dan DPD. Tidak ada caleg DPR yang berstatus eks koruptor. Sebab, dalam pileg, pengurus parpol di daerah punya otonomi untuk menentukan siapa caleg yang diusung. Sementara itu, dalam pilkada, calon kepala daerah harus mendapat persetujuan dari DPP partai masing-masing.
Bila DPP sudah menyetujui gagasan larangan eks koruptor untuk mencalonkan diri, komitmen itu akan lebih kuat untuk dijalankan. DPP bisa menolak ketika pengurus di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota hendak mencalonkan bekas koruptor. Karena itu, Pramono optimistis gagasan tersebut akan mulus.
Di luar itu, dia berharap langkah tersebut juga didukung seluruh rakyat. Dengan demikian, tidak ada yang sampai mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang dilakukan pada UU 8/2015. Namun, bila digugat lagi di MK, hakim bisa lebih progresif dalam memutus. Sebab, sudah ada fakta riil yang harus dicermati.
“Bahwa mantan napi korupsi yang terpilih kembali itu berpotensi besar melakukan korupsi lagi,” tambah mantan ketua Bawaslu Provinsi Banten itu.
Ketua Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif Veri Junaidi mengingatkan, kasus bupati Kudus seharusnya sudah cukup menjadi dasar untuk merevisi UU Pilkada. Kasus itu merupakan fakta bahwa bekas koruptor berpotensi mengulang kejahatannya bila diberi kekuasaan lagi.
“Kalau undang-undang memberikan ruang untuk itu (melarang eks koruptor nyalon), maka bisa dijalankan,” ujarnya.
Selain itu, posisi UU lebih kuat jika dibandingkan dengan PKPU yang sempat menjadi perdebatan pada pemilu lalu. Hanya, Veri mengingatkan bahwa waktu pelaksanaan pilkada sudah dekat. “Pertanyaannya, apakah cukup waktu untuk merevisi atau tidak,” lanjutnya. Bila memang hendak dilakukan revisi, sejak awal sudah harus ada limitasi. Mana saja pasal yang akan dibahas untuk direvisi.
Mengenai peluang diuji materi kembali ke MK, menurut Veri tidak masalah. Bagaimanapun, uji materi adalah hak konstitusional setiap warga negara. Di forum sidang MK itulah perdebatan akan dibangun.
Sebelumnya, Mendagri Tjahjo Kumolo membuka peluang revisi UU Pilkada untuk mengakomodasi usul larangan eks koruptor maju lagi dalam pilkada. Hanya, usul itu baru bisa masuk setelah anggota DPR periode baru dilantik. “Semua bisa memberikan masukan. Kami akomodir dan akan kami bahas bersama,” ujar Tjahjo.
Awalnya, UU 8/2015 mengatur bahwa eks terpidana yang kasusnya punya ancaman hukuman penjara lebih dari lima tahun dilarang mencalonkan diri sebagai kepala dan wakil kepala derah.
Namun, pada tahun yang sama, pasal yang memuat larangan tersebut digugat ke MK. Penggugatnya adalah dua eks terpidana kasus korupsi P2SEM (Program Penanganan Sosial dan Ekonomi Masyarakat) di Jatim, Fathorrasjid dan Jumanto.
Hasilnya, MK mengabulkan permohonan dua bekas terpidana tersebut. Eks terpidana yang kasusnya diancam hukuman penjara lima tahun tidak boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah kecuali mereka mengumumkan statusnya sebagai eks terpidana kepada publik. Yang juga termasuk dalam kategori terpidana tersebut adalah eks koruptor. Ketentuan itu kemudian diadopsi dalam UU 10/2016. (JPG)
baca artikel asli di https://www.radarbogor.id/2019/08/02/eks-koruptor-tak-layak-maju-pilkada/
0 komentar:
Post a Comment