JAKARTA – RADAR BOGOR, Kronisnya masalah defisit Badan Penyelenggara Sosial (BPJS) Kesehatan semakin jelas. Kenaikan iuran peserta peserta program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk semua kelas pun dipastikan akan dilakukan.
Wakil Menteri Keuangan Mardiasmo mengatakan besaran kenaikan tiap kelas sampai saat ini masih dalam penghitungan. Nantinya demi keadilan, semua kelas harus ditinjau ulang.
“Kelas satu, dua, dan tiga yang umum dan swasta, termasuk ASN, dikaji semuanya,” kata Mardiasmo usai menghadiri rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo (Jokowi), di kompleks kepresidenan Jakarta, kemarin.
Kenaikan iuran BPJS Kesehatan mau tak mau harus dilakukan demi menyelamatkan BPJS dari jurang defisit sebesar Rp28 triliun.
Jika mengacu pada amanat Perpres No. 28 Tahun 2018, pemerintah sudah seharusnya menaikan iuran BPJS Kesehatan. Iuran mestinya naik sejak 2018 karena maksimal ditinjau dua tahun sekali mulai 2016.
Penyesuaian iuran terakhir dilakukan pada 2016 yang dimuat di dalam Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016.
Melalui beleid itu, iuran peserta kelas I berubah dari Rp59.500 ke Rp80 ribu, kelas II berubah dari Rp42.500 ke Rp51 ribu, dan kelas III naik dari Rp25.500 ke Rp30 ribu.
Mardiasmo menuturkan, bahwa Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) pun telah mengusulkan tarif iuran bagi peserta BPJS Kesehatan. Namun, usulan tersebut akan kembali dikaji.
“Tadi saya dapat informasi dari DJSN sudah mengajukan dan pakai angka. Kita sedang selesaikan beberapa opsi. Nanti dilihat mana yang bisa sustain dan bisa menutup defisit,” jelasnya.
Dia belum bisa memastikan apakah kenaikan iuran akan dipukul rata untuk semua kelas. Pasalnya, kebijakan tersebut bergantung pada beberapa sektor.
“Tergantung nanti kami lihat efeknya. PBI (penerima bantuan iuran) seperti apa, non PBI seperti apa, termasuk yang umum dan swasta,” tegasnya.
Mardiasmo bilang, pemerintah akan segera menyelesaikan persoalan iuran peserta BPJS Kesehatan. Meskipun tak ada instruksi khusus Jokowi, diharapkan hal ini selesai akhir Agustus.
Sementara Pakar Jaminan Sosial, Hasbullah Thabrany, menilai defisit di BPJS Kesehatan disebabkan oleh iuran yang kecil dan tidak konsistennya pemerintah menjalankan Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (UU SJSN).
Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (UI) itu mengatakan defisit disebabkan oleh gap antara iuran ideal dengan iuran dari golongan Peserta Pekerja Penerima Upah yang bekerja pada lembaga pemerintahan.
Golongan ini terdiri dari Pegawai Negeri Sipil, anggota TNI, anggota Polri, pejabat negara, dan pegawai pemerintah non-pegawai negeri yang setiap bulannya dikutip iuran 5 persen dari gaji pokok per bulan dengan ketentuan: 3 persen dibayar oleh pemberi kerja dan 2 pesen dibayar oleh peserta.
Ia mengkritik aturan tersebut tidak adil karena gaji pokok jutaan ASN pasti lebih rendah dari gaji utuh (take home pay) yang diterima setiap bulannya.
Ia juga menyayangkan pihak BPJS yang selalu menyalahkan Peserta Bukan Penerimah Upah (PBPU) sebagai penyebab utama defisit.
Padahal menurutnya, defisit terjadi karena iuran yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai dengan yang seharusnya.
“Dari awal perumusan iuran BPJS itu sudah salah hitung. Iuran itu hanya sepertiga dari perhitungan yang ideal. Padahal ada jutaan PNS yang take home pay-nya lebih besar dari gaji pokoknya, tapi bayar iuran kecil,” ujarnya seperti dilansir beritagar.id.
Sudah sewajarnya, lanjutnya, pemerintah sebagai garda terdepan menjalankan amanat UUD 1945 yang memuat dasar hak konstitusional warga negara atas Jaminan sosial. BPJS adalah sarana melaksanakan JKN untuk melayani hak dasar rakyat di bidang kesehatan.
“Banyak cara yang bisa dilakukan, bukan hanya dengan menekan pengeluaran BPJS. Pemerintah harus konsisten menjalankan UUD 45, jangan sampai pemerintah melanggar sumpahnya sendiri,” jelasnya.
Besaran iuran BPJS Kesehatan yang tidak sesuai perhitungan aktuaria kerap menjadi kambing hitam defisit keuangan yang dialami lembaga yang bernama lama PT Asuransi Kesehatan (Persero) tersebut.
Pada 2014 atau tahun pertamanya, neraca keuangan BPJS Kesehatan defisit Rp3,3 triliun dan membengkak menjadi Rp5,7 triliun pada 2015. Tren ini berulang pada 2016 dan 2017 ketika defisitnya menyentuh Rp9,7 triliun dan Rp9,75 triliun.
Melihat fakta ini, pemerintah sudah berkali-kali menggelar rapat koordinasi untuk menyusun strategi penyelamatan BPJS dari jurang kebangkrutan meski BPJS tidak diwajibkan mencetak laba.
“Tetapi, defisit yang dicatat juga tidak bisa disepelekan. Salah-salah urus, negara bisa menanggung kerugian,” tukas Hasbullah.
Sementara itu, Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf menjamin kenaikan kenaikan iuran bakal sejalan dengan peningkatan kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan.
Salah satu bagian dari peningkatan kualitas layanan adalah pembenahan kualitas rumah sakit mulai awal 2019 dengan akreditasi dan pengkajian kelas rumah sakit yang sesuai dengan persyaratan. Iqbal mengaku review kelas rumah sakit untuk memastikan kualitas. “Jadi kontribusi regulasi jadi poin penting untuk melakukan program ini bisa terselenggara secara efisien,” kata Iqbal. (ind/jpg)
baca juga artikel asli di https://www.radarbogor.id/2019/08/08/defisit-makin-kronis-iuran-bpjs-kesehatan-dipaksa-naik/
0 komentar:
Post a Comment