JAKARTA-RADAR BOGOR, Sejumlah kejutan mewarnai daftar pengurus Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PDIP periode 2019-2024. Salah satunya, munculnya nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini sebagai ketua DPP bidang kebudayaan. Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri melantik pengurus baru yang sekaligus menandai berakhirnya rangkaian Kongres V PDIP di Grand Inna Bali Beach Hotel, Sanur, kemarin (10/8).
Struktur baru itu tetap berisi 27 pengurus. Terdiri atas ketua umum, sekretaris jenderal (Sekjen) dan 3 wakil Sekjen, bendahara dan 2 wakil bendahara, serta 19 ketua bidang. Masuknya Risma sudah pasti dengan pertimbangan matang. “Dengan kiprahnya sebagai wali kota dua periode, Bu Risma kami harapkan bisa mencari solusi ancaman kebudayaan,” kata Megawati.
Ketua DPP PDIP Bidang Ideologi dan Kaderisasi Djarot Saiful Hidayat menyampaikan, Risma terbukti sebagai kader yang bagus. Keberhasilan Risma sebagai wali kota, papar dia, bisa memberikan pengaruh positif. Risma diharapkan ikut mengatasi masalah kebudayaan yang bisa mengancam persatuan.
“Karena persoalan-persoalan intoleransi ancaman perpecahan bangsa. Salah satu caranya bisa dengan pendekatan kebudayaan,” papar Djarot.
Risma mengaku tak tahu akan mendapat kepercayaan tersebut. Posisinya di Surabaya. Sekitar pukul 11.00, dia mengadakan konferensi pers tentang Yayasan Kas Pembangunan (YKP) di ruang kerjanya. Saat awak media meminta konfirmasi tentang jabatan barunya tersebut, Risma kaget. “Arek-arek iki senengane kok ndisiki kerso,” ujar Risma.
Namun, begitu disodori struktur lengkap DPP PDIP mulai ketua umum hingga bendahara, Risma baru percaya. “Opo, dadi opo? Kebudayaan? Eh, iyo e,” ujar Risma yang mengenakan baju batik dominan merah dengan nada terperanjat. Risma memang menghadiri kongres di Bali saat pembukaan Kamis (8/8), tapi langsung pulang malamnya.
Risma menjadi kader PDIP sejak 2015, saat hendak maju dalam pilwali untuk periode kedua. Tapi, dia pun belum pernah mendapatkan posisi di DPC maupun DPD. “Aku kan belum pernah menjadi pengurus partai juga. Jadi, belajar lah, nanti dilihat,” ungkap Risma. Dia tidak mau bila penunjukan dirinya sebagai ketua DPP itu sekadar formalitas. “Aku ndak mau cuma ditulis aja, ndak mau. Makanya, nanti coba tak pelajari sampai di mana,” imbuh dia.
Masuknya nama Risma itu memunculkan spekulasi bahwa dia sedang disiapkan untuk posisi yang lebih tinggi. Kabarnya, jika bukan menteri, Risma nanti diplot untuk perebutan jabatan DKI-1. “Tapi, semuanya masih menunggu perkembangan dulu,” ucap sebuah sumber di internal partai berlambang banteng moncong putih tersebut.
Kejutan lain adalah tergusurnya Bambang D.H. beserta lima pengurus lama dari struktur DPP. Sebelumnya, mantan wali kota Surabaya itu menjabat ketua DPP bidang badan pemenangan pemilu. Posisi itu digantikan oleh anggota DPR dari Jawa Tengah Bambang Wuryanto. Suami Dyah Katarina tersebut tidak kaget dengan keputusan itu. “Biasa gantian. Aku nyantai ae kok,” kata Bambang, lalu tertawa, saat dihubungi kemarin.
Saat ditanya soal hal itu, Ketua DPP Bidang Pemuda dan Olahraga Eriko Sotarduga menyatakan tidak mengetahui alasan terpentalnya Bambang D.H.
Menurut dia, itu adalah kewenangan penuh Megawati sebagai Ketum PDIP. Apalagi, presiden ke-5 RI tersebut didaulat sebagai formatur tunggal kongres sehingga berhak memberhentikan dan mengangkat kader.
“Tentu semuanya kembali ke Bu Ketua (Megawati, Red). Tapi, kalau misalnya Anda berprestasi, masak bos Anda tidak memperhatikan,” ujarnya, memberikan analogi.
Selain Bambang D.H., ada lima nama pengurus lama yang tidak masuk struktur baru. Salah satunya Trimedya Panjaitan. Jabatan lamanya sebagai ketua DPP bidang hukum, HAM, dan perundang-undangan digantikan oleh Yasonna H. Laoly. Politikus yang juga menjabat menteri hukum dan HAM di kabinet Jokowi-JK itu diharapkan mampu berperan besar dalam bidang hukum dan perundang-undangan.
Dia mengaku tak pernah mengejar jabatan. Apa pun tugas dari partai bakal dia jalankan. Yang penting bagi dia, bagaimana kader bisa melaksanakan misi partai. Nama lain yang menarik perhatian dalam struktur itu adalah Prananda Prabowo. Anak kandung Megawati itu kembali dipercaya untuk memegang jabatan ketua bidang UMKM, ekonomi kreatif, dan ekonomi digital. Dalam nomenklatur DPP PDIP sebelumnya, tidak ada istilah ekonomi digital.
“Memang ini penambahan. Karena Mas Prananda ahli di bidang itu,” ujar Djarot.
Menurut Djarot, Prananda tepat untuk jabatan itu karena memahami hal-hal yang terkait dengan sistem dan big data serta terbiasa berurusan dengan teknologi. Semangatnya, tambah Djarot, PDIP akan menjadi partai pelopor yang modern. Sehingga ke depan akan berbasis digitalisasi partai itu. Termasuk juga membuat program untuk perekrutan kader baru. “Mas Prananda sosok yang tepat di bidang itu,” tutur mantan wali kota Blitar tersebut.
Pemilu Serentak Beban Berat Penyelenggara
Kongres V PDIP melahirkan 23 rekomendasi dan sikap politik. Salah satu yang menarik perhatian adalah rekomendasi agar pemilu serentak yang diterapkan 2019 dihapus. Diatur ulang dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg).
Kongres V PDIP melahirkan 23 rekomendasi dan sikap politik. Salah satu yang menarik perhatian adalah rekomendasi agar pemilu serentak yang diterapkan 2019 dihapus. Diatur ulang dengan memisahkan pelaksanaan pemilihan presiden (pilpres) dan pemilihan legislatif (pileg).
Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) DPP PDIP Arief Wibowo menyampaikan, untuk mengatur ulang sistem pemilu, dibutuhkan perubahan undang-undang. Baik Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu maupun UU 2/2011 tentang Partai Politik (Parpol). ”Revisi UU Pemilu dan UU Parpol adalah fokus kami di parlemen nanti,” kata Arief Wibowo di lokasi kongres PDIP kemarin.
Revisi dua undang-undang tersebut akan menjadi fokus DPR periode 2019-2024. Dengan demikian, sistem baru pemilu itu bisa ditetapkan di Pemilu 2024. ”Kami akan lobi fraksi lain agar sejalan dengan pandangan PDIP,” ujar Arief.
Menurut dia, perubahan sistem pemilu penting dilakukan. Sebab, pelaksanaan Pemilu 2019 dinilai sangat memberatkan. Termasuk bagi partai politik sebagai peserta dan penyelenggara pemilu serta pembiayaan. ”Pemilu serentak adalah beban berat bagi penyelenggara pemilu,” urainya.
Menurut dia, asas pelaksanaan pemilu harus sederhana dan memudahkan pemilih. Serta harus berbiaya murah. ”Kalau kita merujuk pada asas pemilu yang demokratis, memang tidak bisa yang kompleksitasnya tinggi. Bebannya berat. Bukan saja bagi penyelenggara dan parpol, tapi juga untuk pemilih,” paparnya.
Meski demikian, PDIP mengusulkan pemilu tetap dilakukan pada tahun yang sama. Yaitu, mulai 2024. Namun, ada tahapan yang memisahkan. Tahap pertama yang dipilih adalah presiden dan anggota DPD. Berikutnya, dalam rentang waktu tiga bulan, memilih anggota DPR, DPRD provinsi, sampai DPRD kabupaten/kota. Tahap terakhir adalah memilih kepala daerah secara serentak. ”Jadi, dalam setahun, memungkinkan kita mencoblos tiga kali,” ujarnya. (JPG)
0 komentar:
Post a Comment