Banner 1

Friday, 8 September 2017

Fenomena Balapan Liar di Pelosok Pedesaan


CIGUDEG–Virus balapan liar (bali) mulai menjalar ke pelosok pedesaan. Begitulah yang terlihat di Kecamatan Cigudeg, belum lama ini. Adu cepat jalanan tersebut bahkan menjadi aktivitas wajib sejumlah pemuda Cigudeg.

Salah satu kios pinggir Jalan Raya Cigudeg, menjadi tempat DN(16) menghabiskan kesehariannya. Remaja putus sekolah asal Kampung Cicopong RT 01/02, Desa Cigudeg, Kecamatan Cigudeg, ini hanya berkutat dengan mesin motor matik miliknya. Bongkar pasang mesin, mencari setting-an untuk turun di balapan akhir pekan nanti.

Sabtu malam mendatang, ia berencana turun dalam balapan liar di Jalan Cicopong. Bertaruh demi mendapatkan nama. “Kalau menang nama bengkel ini naik lagi,” ujarnya kepada Radar Bogor.

Menurutnya, jika setiap balapan liar bisa menang, tentu akan membuat nama bengkel makin mentereng dan kebanjiran order. “Di sini bukan cuma balapan doang. Kalau sering menang, banyak pelajar yang bikin (merombak, red) motor di bengkel,” tuturnya.

Namun, selain nama bengkel, yang dipertaruhkan adalah uang dan wanita. Balapan ini disebut dengan istilah “Macul”. Di mana, joki dan bengkel yang kalah harus menyediakan bayaran berupa wanita untuk digilir. “Kalau lagi taruhan, itu yang paling seru, dan hanya ada di Cigudeg,” tutur DN sambil menghisap sebatang rokok.

Hal itu pun dibenarkan Rendi (21), pemilik bengkel balap di Cigudeg. Pria yang sering disapa Obet Bule ini mengatakan, untuk taruhan “Macul” dilakukan sebulan sebelum balapan. Kedua bengkel yang akan balapan mengumpulkan uang taruhan kepada panitia balapan. Uang tersebut akan digunakan untuk membayar wanita, joki, dan membeli minuman keras.

“Kalau balapan jenis ini ada koordinatornya. Untuk wanita yang akan ditaruhkan biasanya siswa SMA yang dibayar oleh yang kalah. Nah, sisa uangnya untuk beli minuman. Untuk taruhan antara Rp400-700 ribu. Joki yang menang dapat bayaran sesuai kesepakan bengkel dan joki,” terangnya.

Balapan liar bukan hanya mencari pundi rupiah dan wanita saja. Tapi dijadikan sebagai sarana pelampiasan emosi bagi pelakunya. Seperti Akmal Ependi (17). Ia memilih menjadi joki karena kedua orang tuanya bercerai setahun lalu. “Kalau bapak dan ibu gak cerai, saya sepertinya tidak akan jadi seperti ini,” akunya.

Ia menjadi joki balap lantaran tak diurus oleh kedua orang tuanya pasca bercerai. Sang ayah menikah lagi dan pergi. Begitu pun dengan ibunya yang kini ikut dengan suami baru. Sementara, Akmal hanya hidup dengan nenek. “Saya banyakya hidup di luar. Jadi joki dibayar, kemudian uangnya untuk makan dan beli beras buat bantu nenek saya,” tukasnya.

0 komentar:

Post a Comment