Banner 1

Monday, 5 September 2016

Kesetaraan Gender, Ribuan Perempuan Bogor Menjanda



BOGOR-Jumlah janda baru di Kota Bogor dalam kurun waktu delapan bulan ini cukup membuat geleng-geleng kepala. Berdasar data dari Pengadilan Agama (PA) Klas IB Kota Bogor, hakim setempat memutus 1.205 kasus perceraian selama satu semester lebih ini. Kasusnya didominasi istri yang menggugat cerai suaminya (cerai gugat).

Jika merujuk data itu, artinya rata-rata dalam sebulan ada 150 pasangan yang memutuskan berpisah. Atau jika dikerucutkan lagi, dalam kurun waktu sehari ada lima pasangan yang melajang. Panitera Muda Hukum pada Pengadilan Agama Bogor, Agus Yuspian mengungkapkan, tren perceraian mengalami peningkatan sejak tiga tahun terakhir.

Dengan usia rata-rata tiap pasangan di bawah 30 tahun. Artinya, kebanyakan mereka adalah pasangan muda. Menikah muda, pun bercerai dalam rentang usia yang terbilang muda. "Bahkan selama 2016 ini, Januari hingga Agustus, perkara yang kami terima di tiap bulannya meningkat drastis," ujar Agus kepada Radar Bogor.

Di bulan Januari, misalnya, Kantor Pengadilan Agama menerima 177 perkara. Jelang tujuh bulan kemudian, jumlah ini meningkat drastis di bulan Agustus mencapai 234 perkara. Dari jumlah itu, kasus cerai talak atau yang diajukan oleh suami terbilang kecil, tak sampai 40 perkara antara bulan Januari hingga Juli. "Namun, di bulan Agustus angkanya sempat naik menjadi 50 perkara," katanya.

Sementara, untuk perkara cerai gugat atau yang diajukan oleh istri, angkanya sunggguh membuat mata terbelalak. Di bulan Januari, misalnya, angkanya mencapai 129 perkara, namun sempat turun di Februari yang hanya 78 perkara. "Tapi, di Agustus ini peningkatan lebih dari 100 persen, sebanyak 161 gugatan diajukan istri," tambahnya.

Jumlah ini, menurut Agus, sangatlah tinggi dan dikategorikan menjadi bulannya pasangan suami istri (pasutri) berpisah. "Untuk penyebabnya sendiri, Pengadilan Agama Bogor melansir ada 14 jenis penyebab perceraian," imbuhnya.

Menurut Agus, masalah perceraian disebabkan berbagai macam alasan, bisa saja krisis akhlak, perselingkuhan, tidak ada keterbukaan hingga faktor media sosial juga turut andil di sini. Dari data yang dia miliki, kasus pasangan saling meninggalkan yang paling banyak mendominasi dengan 124 kasus.

"Meninggalkan di sini, bisa dilakukan oleh istri atau suami. Namun, diperkirakan karena istri yang paling banyak menggugat, maka diduga, suamilah yang meninggalkan, pada akhirnya istri tak tahan dan menggugat cerai," bebernya.

Di posisi kedua, ada faktor pertengkaran yang tidak kunjung usai. Angkanya mencapai 121 kasus. Selain itu, ada kecenderungan pula bahwa istri berani mengajukan cerai karena merasa bisa menghidupi diri sendiri alias masalah ekonomi.

Namun demikian, kasus ini masih didominasi karena pihak suami tak bisa menafkahi istri. Tercatat ada sebanyak 112 kasus karena masalah nafkah ini. Meski tidak sebanyak faktor lain, mengajukan cerai karena adanya pria idaman lain (PIL) dan wanita idaman lain (WIL) juga cukup banyak. "Dibanding penyebab lainnya, kasus ini menempati posisi keempat dengan 74 perkara," ungkapnya.

Sosiolog Universitas Indonesia (UI), Fu Xie menilai, permasalahan keluarga dari dulu hingga kini tentunya selalu ada. Namun, mengapa kini lebih banyak istri yang menggugat cerai dibandingkan suami? "Kalau dilihat dari sisi suami, dari dulu pun cukup banyak suami yang kurang bertanggung jawab. Namun, kenapa dulu tidak banyak istri yang menggugat, berbeda keadaannya dengan zaman sekarang," katanya.

Dengan kata lain, kenapa perempuan sekarang lebih berani hidup sendiri, karena perubahan pola pikir. Dulu, jika tanpa suami, janda dalam masyarakat adalah status yang hina. Sekarang, perempuan tidak terlalu merasa rendah dengan status tersebut. Bahkan, seperti orang barat, ada istilah yang seakan-akan menaikkan status janda itu dan menjadi simbol baru, yakni single parent.

"Single parent adalah istilah yang lebih mantap dibanding janda. Padahal kan keduanya sama saja. Selain itu, dengan menjadi single parent, perempuan beranggapan tak harus berada melulu di bawah ketiak suami, kalau diperibahasakan," katanya.

Hal ini tentunya didukung jika sang istri mandiri, dalam artian memiliki penghasilan sendiri, apalagi jika lebih tinggi dibanding suami. Jarang sekali istri yang berani menggugat cerai jika tak memiliki penghasilan, lain kasus jika penyebabnya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

"Ada juga karena kesetaraan gender. Dengan bercerai, perempuan tak harus meminta izin ke suami jika ingin melakukan sesuatu, lebih bebas. Maka itulah kiranya mengapa banyak istri yang lebih banyak menggugat cerai," tandasnya. (wil/ent)


sumber :Radar Bogor

0 komentar:

Post a Comment