Banner 1

Wednesday, 26 September 2018

Perda Kawasan Tanpa Rokok di Kota Bogor, Serikat Pekerja Minta Tak Diskriminatif

BOGOR–RADAR BOGOR, Regulasi Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Kota Bogor nomor 12/2009 dianggap belum jelas.
Sebab, masih belum sejalan dengan Peraturan Pemerintah nomor 109/2012. Hal itu diungkapkan Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja (FSP) Rokok Tembakau Makanan Minuman Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (RTMN-SPSI) Sudarto AS.
“Kami tidak antiregulasi, malah kami mendukung Perda KTR, cuma yang kami harapkan adil dan berimbang ukurannya yakni aturan di atasnya PP 109/2012, hendaknya KTR Bogor merujuk pada ketentuan hirarki norma di atasnya itu,” ujarnya kepada Radar Bogor usai kegiatan Forum Group Discusion (FGD) Perda KTR Bogor nomor 12 tahun 2009 versus PP 109 tahun 2012 di Hotel New Ayuda Sempur, kemarin (25/9).
Sudarto mencontohkan, ketika masyarakat dilarang untuk membuang sampah maka seharusnya disediakan tempat untuk membuangnya. Demikian tentang KTR, hampir seluruh daerah memberlakukan Perda KTR tetapi tidak ada satu tempat pun yang jelas untuk merokok.
“Ini kan menjebak masyarakat juga sebenarnya, padahal aturan itu harus jelas semua,” imbuhnya.
Bagaimanapun, kata Sudarto, para perokok memberikan kontribusi yang cukup besar untuk negara. Pada 2017, sekitar Rp149 triliun masuk ke negara yang berasal dari cukai rokok yang bisa digunakan untuk berbagai sektor pembangunan.
Malahan, kata dia, informasi yang didapat bahwa ketika BPJS kekurangan biaya Presiden mengesahkan agar menggunakan dana yang berasal dari cukai.
“Kami ini kan sangat stereotip, sampai kesannya dikucilkan. Kalau bicara kesehatan, barang konsumsi apa pun itu ada dampak pada kesehatannya. Tapi mana kita permasalahan gula, nasi dan seterusnya. Yang diper­masalahkan habis adalah rokok. Padahal semua barang konsumsi ada risikonya. Itu agak diskriminatif terhadap para perokok,” ungkapnya.
Selain itu, akibatnya saat ini hampir 56 ribu lebih pekerja rokok dari anggota FSP RTMM dirumahkan dalam kurun waktu 2012 sampai 2017 karena isu dan kampanye rokok yang masif. Pabrik yang ditutup pun mencapai 3.000 lebih sejak 2007 hingga 2016 yang mayoritas di pulau Jawa.
“Jadi menurut saya ada sesuatu dalam bisnis rokok tetapi jangan korbankan buruhnya karena kasihan mereka,” pungkasnya.(gal/c)

0 komentar:

Post a Comment