BOGOR-RADAR BOGOR, Indonesia merupakan penyumbang sampah plastik terbanyak kedua di dunia. Dari 60 juta ton sampah yang dihasilkan, 15 persennya merupakan sampah plastik.
Sampah itu tak hanya menyesaki tempat pembuangan akhir. Namun, juga mengalir ke sungai yang berakhir di laut.
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti mengaku muak. Banyak sampah plastik yang mengotori pantai dan mencemari laut. “Ini harus ditangani serius. Kalau tidak, nanti kita makan ikan yang isinya plastik. Nelayan juga lebih banyak nangkap plastik daripada ikan,” ucapnya saat memimpin pawai Bebas Plastik yang digelar di car free day kawasan Bundaran Hotel Indonesia hingga Monas itu, Minggu (21/7/2019).
Ya, Susi berada di barisan paling depan bersama 1.500 orang dalam aksi menolak plastik sekali pakai terbesar di Indonesia itu. Mereka melawan sosok monster laut besar. Setinggi 4 meter yang terbuat dari 500 kg sampah plastik.
Monster tersebut melambangkan sebuah ancaman yang bisa mengancam keselamatan bumi. Semakin banyak sampah dibuang, semakin besar wujudnya.
Untuk mencegah kondisi itu, Susi mengajak warga Ibu Kota untuk mengurangi pemakaian produk plastik sekali pakai. Mengganti dengan barang yang lebih ramah lingkungan.
Bisa digunakan berkali-kali. Seperti menggunakan kantong kain maupun membawa tumblr sebagai tempat minum.
“Minum juga tidak usah pakai sedotan. Kecuali sedotannya bawa sendiri yang dari logam atau bambu,” jelas perempuan 54 tahun itu.
Susi mengimbau, jika bermain ke pantai, pulau maupun ke laut jangan buang sampah sembarangan. Lebih baik bawa sampah plastik itu sampai kembali.
Jangan kotori tempat yang semula bersih, indah, dan asri dengan sampah. Karena laut adalah masa depan bangsa.
“Kalau ada pembuang sampah plastik ke lautan, harus kita tenggelamkan!” tegas Susi.
Selain penyumbang sampah plastik, Indonesia adalah satu dari sedikit negara di selatan Asia yang menjadi lokasi utama negara-negara barat untuk “membuang” sampah kertas dan plastik.
Negara terbesar yang melakukannya ke Indonesia adalah Kepulauan Marshall dan Amerika Serikat (AS) –setidaknya dalam skala nilai, bukan berat.
Menurut Prigi Arisandi, Direktur Eksekutif Ecoton –lembaga kajian ekologi dan konservasi lahan basah, Indonesia tidak sendirian. Negara di sekitar Indonesia juga menjadi “tempat sampah” kertas dan plastik dari negara-negara maju.
“Tujuan utama sampah kertas dan plastik dari AS adalah Indonesia. Eropa biasanya ke Malaysia, baru ke Indonesia. Australia ke Vietnam, lalu Indonesia,” kata Prigi melalui seperti dilansri Beritagar.id.
Fakta itu pun selaras dengan data perdagangan luar negeri keluaran Badan Pusat Statistik Impor sampah plastik dengan nilai terbesar datang dari Kepulauan Marshall, sebuah wilayah di Samudera Pasifik.
Kepulauan ini memang sempat berada di bawah pengelolaan AS selama hampir empat dekade sebelum merdeka dan berdaulat pada 1986.
Indonesia dan negara-negara di Asia Tenggara serta India makin masif menjadi “tempat sampah” kertas dan plastik dari negara maju setelah Tiongkok melarang impor komoditas tersebut mulai awal 2018. Data pejuang lingkungan Greenpeace menunjukkan angka kenaikannya.
Pada kurun 2016-2018, pertumbuhan impor sampah plastik di ASEAN mencapai 171 persen, dari 836.529 ton menjadi 2.265.962 ton. Itu setara dengan sekitar 423.544 kontainer pengiriman seukuran 20 kaki.
Indonesia pun mengalami kenaikan signifikan sebanyak 123 persen. Kenaikan dari dari $45,87 juta AS pada 2017 menjadi $102,4 juta AS pada 2018. Sementara menurut data BPS, volume sampah kertas dan plastik impor naik 35 persen hingga 2018.
Kehadiran impor sampah plastik di Indonesia sebenarnya ironi karena negeri ini sejatinya sudah punya dua regulasi yang secara prinsip melarang impor plastik.
Masing-masing adalah Undang-Undang 18/2009 tentang pengolahan sampah dan Peraturan Menteri Perdagangan 31/2016 tentang ketentuan impor limbah non-bahan berbahaya dan beracun.
Khusus regulasi nomor 31/2016, menurut Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya Bakar, akan segera direvisi demi mendukung niat pemerintah untuk menghentikan segala kegiatan impor limbah plastik.
Kemudian Kementerian LHK juga punya regulasi yang melarang sampah masuk ke Indonesia.
“Ini sebuah ironi, apalagi nilai ekonomisnya sangat kecil. Cuma naik dari Rp1,6 triliun menjadi Rp1,7 triliun hingga 2018,” tutur Prigi.
Ironi lainnya adalah pada masyarakat. Mereka bisa mendapatkan uang dari penjualan sampah plastik impor yang tak terpakai oleh perusahaan, tapi kesehatannya terdampak pembakaran limbah plastik yang tidak berguna untuk daur ulang.
“Dampak lainnya adalah kontaminasi air bawah tanah dari timbunan sampah plastik yang tidak terpakai ketika hujan turun,” lanjut Prigi.
Sementara itu, Pemerintah Kota (Pemkot) makin gencar sosialisasi Peraturan Wali Kota Nomor 61 Tahun 2018 tentang Pengurangan Penggunaan Kantong Plastik. Aturan tersebut berisi larangan penyediaan kantong plastik di toko ritel dan mal.
Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto mengungkapkan, volume sampah yang dikirim ke TPS Galuga tadinya 600 ton per hari. Saat ini, berkurang hingga menjadi 480 ton per harinya.
Karena itulah Pemkot Bogor diganjar penghargaan sebagai salah satu kota dengan pengurangan timbunan sampah yang drastis.
“Lalu sampah plastik berkurang setengah ton per hari, terlebih setelah dikeluarkannya Peraturan Walikota (Perwali),” jelas Bima.
Ia berharap, ada perubahan perilaku untuk mencari solusi bersama penyelesaian sampah agar ada dampak yang substantif.
“Dan ada kolaborasi setiap elemen, RT, RW, Karang Taruna agar mobile kesana kemari, karena modal utama penyelesaian sampah adalah kebersamaan,” ungkapnya.
Ia mengungkapkan, tak sedikit masyarakat yang meminta dibuatkan TPS oleh Pemkot Bogor dan diberikan lahan. Menurutnya hal ini tentulah paradigma yang keliru, padahal banyak cara mengelola sampah.
“Mari bersama-sama berkolaborasi mengelola sampah. Mulai dikenalkan dengan biopori, kompos dan lainnya,” paparnya. (han/wil)
baca juga artikel asli di https://www.radarbogor.id/2019/07/22/indonesia-juara-dua-dunia-penyumbang-sampah-plastik-pemkot-bogor-geber-perwali/
0 komentar:
Post a Comment