JAKARTA-RADAR BOGOR, Partai politik memiliki kedudukan penting dalam konstitusi di negeri ini. Salah satu fungsinya adalah melakukan pendidikan politik. Namun saat ini, fungsi itu dirasa belum dirasakan secara maksimal baik kepada masyarakat maupun internal partai.
Demikian terungkap dalam Focus Group Discussion (FGD) bertema “Partai Politik dan Pendidikan Politik” di Palembang, Sumatera Selatan, (20/7). FGD merupakan kerja sama MPR dengan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya dihadiri Ketua Badan Pengkajian MPR Delis Julkarson Hehi dan Wakil Ketua Badan Pengkajian Martin Hutabarat dan Rambe Kamarul Zaman.
Martin Hutabarat menjelaskan, parpol memiliki tiga fungsi, yaitu menyiapkan kader untuk kepemimpinan nasional baik di legislatif maupun eksekutif, menyalurkan aspirasi masyarakat, dan melakukan pendidikan politik. Pendidikan politik kepada internal parpol, lanjut Martin, tampak dalam kaderisasi. Namun kaderisasi ini tidak berjalan maksimal.
“Pendidikan politik dilakukan kepada internal parpol dan kepada masyarakat. Ini terlihat dari pencalonan kepala daerah bukan kader terbaik parpol, bahkan mengambil kader parpol lain,” kata Martin dalam keterangannya, Sabtu (20/7).
Pendidikan politik kepada masyarakat, tambah Martin, adalah mendorong masyarakat berpartisipasi dalam politik atau mengikuti pemilu.
“Namun, seperti dalam pemilu, pemilih memilih karena faktor identitas atau agama. Ini terjadi karena parpol dan negara tidak memberikan pendidikan politik,” paparnya.
Rambe Kamarul Zaman juga mengungkapkan hal yang sama. Konstitusi menempatkan parpol pada kedudukan yang penting, tertuang dalam Pasal 6A, pasangan capres dan cawapres diusung parpol dan gabungan parpol. Juga pasal 22E, peserta pemilu legislatif adalah parpol.
Rambe mengatakan parpol melakukan pendidikan politik kepada masyarakat di bawah tentang memilih calon pemimpin melihat latar belakang dan kemampuan calon. “Tapi pemilih justru memilih karena politik uang. Ini menunjukkan gagalnya pendidikan politik kepada masyarakat,” ujarnya.
Sementara itu peserta FGD, Iza Rumesten, memaparkan parpol tidak memiliki format pendidikan politik yang jelas. “Kampanye akbar dalam pemilu bukanlah pendidikan politik tapi pengerahan dan mobilisasi massa. Ini bukan format pendidikan politik yang sebenarnya,” katanya.
Menurut Iza, belum ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang format pendidikan politik. Masih adanya golput juga memperlihatkan pendidikan politik yang belum berjalan maksimal. Pendidikan politik memiliki korelasi dengan partisipasi politik.
Sementara itu, Peserta FGD lainnya, Indah Febriani menyebutkan pendidikan politik belum berjalan maksimal karena dua faktor. Pertama, parpol sibuk dengan persoalannya sendiri (masalah internal). Kedua, parpol hanya mengejar kekuasaan.
“Selain itu muncul distrust kepada parpol disebabkan banyak elit parpol termasuk ketua umum parpol terlibat kasus korupsi dan kasus lainnya. Parpol menjadi satu lembaga yang terkorup. Ini memunculkan antipati masyarakat. Pendidikan politik tidak berjalan maksimal karena adanya distrust dari masyarakat,” katanya.
Pada akhir FGD, Ketua Badan Pengkajian Delis menyampaikan golput dan distrust terkait dengan pendidikan politik. Pendidikan politik adalah memberi penyadaran kepada warga negara dalam soal kebangsaan. Dalam UU disebutkan parpol melakukan pendidikan politik.
Delis juga menyebutkan parpol bisa memanfaatkan media sosial (medsos) untuk pendidikan politik. “Kita harapkan media sosial bisa menjadi sarana pendidikan politik. Jadi medsos bukan sebagai tempat penyebaran berita hoax dan ujaran kebencian, tapi untuk pendidikan politik,” ujarnya. (JPG)
0 komentar:
Post a Comment