Banner 1

Monday, 5 February 2018

Yuk, Mendongeng Buat si Kecil


MENDONGENG adalah salah satu budaya tutur tertua di dunia. Ia lahir sebelum aksara dan keterampilan menulis muncul. ”Karena asalnya dari zaman dahulu, mendongeng ini sebenarnya simpel. Modalnya hanya cerita, yang membedakan adalah metode penyampaiannya,” ungkap Craig Jenkins, pendongeng asal Inggris, dalam kunjungannya di Surabaya beberapa pekan lalu. Jenkins menjelaskan, dongeng bukan sekadar bertutur.

Agar kisahnya mengena buat pendengar, si penutur harus mendalami dongeng. ”Penutur cerita yang menghayati bakal terlihat dari gestur, mimik muka, dan suaranya. Jika ceritanya tentang monyet, be the monkey,” ucap alumnus University of Sussex, Inggris, tersebut.

Dia menjelaskan, hal itu membuat dongeng lebih dari sekadar membaca cerita, melainkan menjadi media belajar buat si kecil. ”Dari ekspresi dan suara, anak-anak bisa belajar tentang emosi. Misalnya, mengapa ada rasa sedih? Bagaimana sih, wajah atau suara orang saat sedih,” kata Jenkins sambil membuat ekspresi sedih.

Suaranya berubah memelas, matanya mengerut, dan sudut bibirnya melengkung ke bawah. Dia menambahkan, ekspresi, gestur, intonasi suara, dan gerak si pendongeng bisa menggantikan kata-kata dalam dongeng. Dengan begitu, penuturan cerita akan lebih interaktif. ”Pendongeng tidak perlu membaca kalimat di buku atau narasi dongeng dengan lengkap,” papar Jenkins. Penuturan cerita pun bisa dinikmati anak-anak dari usia bayi sekalipun.

Meski tanpa kalimat panjang, pendongeng yang tinggal di London dan Kancheepuram, India Selatan, itu menyatakan, audiens tetap bisa memahami inti cerita. Kuncinya, menurut dia, ada di awal dongeng. Pendongeng hendaknya memperkenalkan lebih dahulu tokoh, karakter, dan sinopsisnya. Misalnya, kisah ayah ibu rusa di hutan. Untuk mendukung cerita, banyak media yang bisa digunakan.

Di antaranya, buku dongeng berukuran besar, boneka, hingga hanya bermodal tangan sekalipun. Jenkins mencontohkan tokoh rusa, yang digambarkan dengan tangan mengepal, lalu telunjuk dan kelingking terangkat. Untuk dialognya, dia kerap menggunakan ”bahasa” yang hanya berupa ka-ka-ka dengan intonasi naik turun, sesuai jalan cerita. ”Nah, saat menggunakan bahasa itu, kita bisa melibatkan pendengar. Kita bisa bertanya kepada mereka, sedang apa sih si hewan itu?” kata pria yang menjadi pendongeng sejak 2007 tersebut.

Untuk tokoh hewan lain, Jenkins menggunakan suara dan nada berbeda. Misalnya, singa yang bersuara ha-ha keras dan serak. Menurut dia, narasi hanya diucapkan pendek-pendek untuk menandai pergantian tokoh atau menjelaskan alur cerita. Karena itu, cerita yang dipilih sebaiknya simpel. Tidak perlu banyak karakter. Psikolog A. Twingky Indrawati SPsi Cht sepakat dengan pendapat Jenkins.

Dongeng sederhana akan memudahkan anak mencerna cerita. Terlebih, kemampuan bahasa anak masih belum sekompleks dewasa. Dengan begitu, struktur kalimat pendek-pendek dengan bahasa yang mudah dipahami akan sangat membantu. Tip lain, agar anak mau mendengarkan, cerita sebaiknya disampaikan dengan atraktif dan diselingi kegiatan buat anak. ”Misalnya, anak diajak menebak apa yang dilakukan tokoh utama selanjutnya atau menyanyikan lagu yang masih berhubungan dengan tema cerita,” ungkap pendiri Pusat Terapi Autisme ESYA Center tersebut.(fam/c7/nda)

sumber :Radar Bogor

Related Posts:

0 komentar:

Post a Comment