Sejak saya muntah darah pada tahun 2004 itu, praktis Robert Lai-lah yang menjadi ”manajer kesehatan’’ saya.
Selama dua tahun berikutnya saya mondar-mandir ke Singapura. Berarti Robert terus memanajeri keperluan saya.
Dokter yang dilibatkan pun kian banyak. Dari berbagai bidang. Termasuk ahli kanker. Tapi saya tetap kerja keras di perusahaan.
Sakit liver memang tidak membuat terlihat menderita. Dari luar akan terlihat sehat-sehat saja. Badan saya bengkak pun dikira saya lagi gemuk.
Apalagi sejak dipastikan tidak ada jalan lain kecuali dua kemungkinan ini:
1. Melakukan transplan dengan konsekuensi sulit mendapatkan donor hati dan transplannya gagal.
2. Tidak transplan sambil menunggu keajaiban karena secara medis umur saya tinggal enam bulan. Kanker hati saya sudah stadium akhir.
Saya putuskan untuk pilih transplan. Robert dengan jaringannya yang luas mencari di mana saya harus transplan. Pilihan utamanya di Amerika atau Australia. Tapi di negara itu sulit sekali untuk mengapat donor hati. Harus antre. Bisa 5 tahun. Padahal umur saya tinggal 6 bulan.
Singapura waktu itu belum mampu melakukan transplan sehingga tidak masuk dalam pilihan. Tentu Robert juga mempertimbangkan Tiongkok.
Banyak kota di Tiongkok yang dikenal mampu melakukan transplan. Guangzhou, Beijing, Shanghai, dan banyak lagi. Waktu itu kota Tianjin tidak pernah masuk pilihan. Tidak terkenal kemampuannya di bidang transplan.
Tapi, teman Robert yang asal Tianjin minta agar saya ditransplan di Tianjin. Robert memang punya teman di hampir semua daerah di Tiongkok. Di samping bisa berbahasa Mandarin Robert bisa juga berbahasa daerah seperti Kanton, Hokkian, Gek dan Tiuchu.
Akhirnya Robert pun keliling Tiongkok. Melihat kondisi rumah sakit di berbagai kota tersebut. Termasuk ke Tianjin yang letaknya sekitar 125 km dari Beijing.
Di Tianjin Robert terperangah. Jauh dari yang dia bayangkan. Ada satu blok baru di rumah sakit itu. Bangunannya berlantai 13. Masih baru. Bersih. Modern.
Blok itu dinamakan transplant center. Berarti ada perhatian khusus terhadap transplan di rumah sakit itu. Robert menemui pimpinannya. Pembawaan Robert yang humble, menghargai lawan bicara dan percaya dirinya yang tinggi membuat orang simpati padanya.
Pertanyaan Robert terakhir dan terpenting ke pimpinan rumah sakit itu adalah: sudah berapa kalikah dilakukan transplan hati di RS itu dan berapa persenkah tingkat kesuksesannya?
Robert kembali terkesima. RS Tianjin itu sudah melakukan lebih dari 5.000 kali transplan hati dalam waktu lima tahun terakhir. Tingkat suksesnya boleh dibilang 100 persen. Tapi pimpinan rumah sakit tersebut cepat-cepat mengoreksinya. “99 persen,” katanya.
“Yang satu persen lagi ditentukan oleh yang di sana,” tambahnya sambil menunjukkan jari ke arah langit.
Robert tersenyum dalam hati. Orang komunis ternyata juga percaya pada langit. Begitulah. Robert menceritakan semua hasil kunjungannya itu kepada saya. Termasuk mampu menyelipkan dialog-dialog lucunya.
Sejak itu kami mantab melakukan transplan di Tianjin. Robert pun menyiapkan semua hal. Termasuk memutuskan untuk membeli mobil, merekrut sopir, dan menyewa apartemen jangka panjang. Istri saya, anak-anak saya dan Robert sendiri bisa tinggal di apartemen itu.
Kami sudah siap mental untuk tinggal lama di Tianjin. Istri saya bisa memasak atau belanja ke pasar. Siap untuk berbulan-bulan menunggu donor dan berbulan-bulan berikutnya setelah operasi.
Robertlah yang menjadi pengendali. Termasuk mengawasi apa saja yang boleh dan tidak boleh dimakan. Mengontrol obat dan memperdebatkannya dengan dokter.
Dalam hal kedisiplinan hidup Robert Lai adalah juaranya. Di mata saya. Termasuk berani menegur, mencegah dan kalau perlu membuang makanan yang dilihatnya tidak baik untuk saya. Istri saya pun tunduk ampun kepadanya.
Apalagi soal kebersihan. Luar biasa ketatnya. Berbagai jenis tisu harus tersedia. Di mobil, di saku dan di apartemen. Gelas, piring, sendok harus dia yang mencuci. Itu pun setiap akan menggunakannya harus dicuci lagi dengan air panas. Setiap kali makan di restoran Robert selalu memesan air panas satu teko. Untuk mencuci piring dan gelas yang disajikan.
Saya sering bertanya dalam hati: dari mana datangnya sikap disiplin tinggi itu. Dari kebiasaan yang begitu lama jadi warga negara Singapura? Atau dari pendidikan hukumnya di Inggris? Atau karena dia sendiri mengidap sakit gula yang hanya bisa diatasi dengan disiplin tinggi dalam mengatur makanan?
Suatu saat saya akan menanyakannya. Hanya saja untuk kehati-hatiannya itu dia sering mengatakan kepada saya: “trust is good but control is better”. Percaya itu baik tapi mengontrolnya akan lebih baik.
Prinsip tersebut tentu bisa dipakai di semua bidang kehidupan. Oleh siapa saja. Terlalu banyak bukan orang tertipu karena kurang melakukan kontrol?
(bersambung)
sumber :Radar Bogor
0 komentar:
Post a Comment