BOGOR–RADAR BOGOR,Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mulai serius menata kawasan Puncak. Berbagai rapid assesment pada bidang longsor dan tebingan terus dilakukan. Yang paling krusial, percepatan pelebaran ruas Jalan Raya Puncak.
”Ini daerah topografinya sudah begini, tata ruang sudah banyak jadi permukiman, jadi harus diatur kembali. Kami rencanakan pelebaran jalur Puncak I. Dari Gadog sampai TSI sudah ada pendekatan dan setuju bersih. Kami lebarkan jalan,’’ kata Menteri PUPR, Basuki Hadimuljono kepada awak media saat meninjau lokasi longsor di Riung Gunung Puncak, Cisarua, Kabupaten Bogor kemarin (6/2).
Selain itu, pelebaran jalur Puncak II juga menjadi alternatif lainnya. Hal itu akan diputuskan dalam sidang kabinet karena jalur utama Puncak adalah jalur umum. Semua jalan akan diperbaiki dari bawah dengan melakukan metode kupas, sekitar satu minggu lamanya.
”Di sidang kabinet ini, prioritas menata jalur Puncak I. Penetapan PKL satu tempat yang berjualan, bukan digusur. Tanah BUMN diinventarisasi untuk bisa dipakai. Kami dukung untuk tata kembali,” sambung Basuki.
Kata dia, semua anggaran sudah disiapkan untuk mengelola jalur Puncak ini. Percepatan ini harus terus dilakukan, mengingat jalur Puncak adalah jalur yang dibutuhkan orang banyak.
”Akan kami tangani semua karena jalur utama. Seminimal mungkin ditutup. Kalau seminggu selesai, kita akan geser jalan sehingga bisa dipakai sambil memperbaiki jalan yang longsor,” bebernya.
Sementara itu, hasil studi Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana dan Geologi (PVMBG) memperlihatkan, ada sejumlah faktor yang menjadi pemicu terjadinya longsor di jalur Puncak. Di antaranya, faktor geologi, morfologi, vegetasi, dan keairan.
Perekayasa Madya PVMBG, Imam Santosa menjelaskan, geologi di jalur Puncak adalah bebatuan api tua, jadi memiliki lava. Tanahnya pun terjadi pelapukan dengan ketebalan dua sampai tiga sentimeter. “Korositas di sini tinggi, sehingga mudah jenuh air,” kata dia ketika ditemui Radar Bogor di lokasi yang sama kemarin.
Kondisi ini diperparah oleh hujan dengan intensitas tinggi pada Minggu (4/2) lalu hingga Senin pagi kemarin. Air hujan yang terus mengguyur, tanah menjadi mudah bergerak, seiring dengan bebatuan hingga akhirnya menyebabkan longsor.
Faktor kedua adalah morfologi, di mana kawasan Puncak ini memiliki kontur perbukitan yang curam. Kondisi ini mengakibatkan kemungkinan longsor semakin besar. Keairan juga menjadi faktor penunjang longsor.
Banyak percikan air pada tebing yang diakibatkan tidak adanya penataan keairan baik. “Akibatnya, bebatuan dan tanah yang jenuh air itu semakin mudah bergerak,” sambung Imam.
Faktor yang tidak kalah penting adalah perubahan tata ruang. Menurut Imam, longsor yang merupakan salah satu bencana geologi ini banyak dipengaruhi oleh ulah manusia, di samping alam.
Atas saran Kementerian PUPR yang merekomendasikan pemangkasan tebing untuk menghindari bencana longsor berikutnya, Imam memberikan satu poin anjuran. “Pastikan drainase baik, terasering juga dibangun dengan kokoh dan dilakukan penguatan lereng,” ucapnya.
Imam juga merekomendasikan agar jumlah kendaraan yang melintas di jalur Puncak ini bisa dikurangi. Sebab, getaran dari kendaraan bermotor mengakibatkan konstruksi tanah dan bebatuan semakin lemah untuk menahan gerakan tanah. Dampaknya, kemungkinan longsor kian besar.
Di bagian lain, bencana longsor dan meluapnya air Sungai Ciliwung di kawasan Puncak, tidak terlepas dari peralihan fungsi lahan hijau di kawasan hulu yakni Puncak. Berdasarkan data PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII Gunung Mas, hampir 70 persen dari 364 hektare lahan berdiri bangunan.
PTPN VIII sendiri saat ini menguasai hampir 700 hektare lahan di kawasan Puncak. Sementara, 364 hektare di antaranya menjadi lahan garapan masyarakat.
Padahal, petugas pendataan lahan PTPN VIII Gunung Mas Aan Suryana, mengklaim, seharusnya lahan PTPN VIII di kawasan Puncak mencapai 1.200 hektare.
”Data itu terakhir kali dilakukan pada 1990. Sekarang tinggal 700 hektare, sisanya hilang,’’ ujarnya.
Menurut dia, sebagian lahan yang beralih fungsi itu telah memiliki izin, baik dari PTPN maupun kementerian. Hanya saja, ada beberapa di antaranya yang tidak memiliki izin, terutama bangunan.
Saat ini, PTPN VIII tengah berusaha mengembalikan lahan-lahan yang hilang tersebut. “Tujuan pendataan kami sebagai pengembalian fungsi lahan Gunung Mas yang sempat dikuasai penggarap,” jelasnya.
Sementara itu, Budi Burhanudin, salah seorang tokoh masyarakat Puncak, meminta BUMN itu mengambil alih lahan yang dikuasi penggarap. Menurutnya, alih fungsi lahan ini berdampak negatif terhadap lingkungan.
“Perizinan dalam pengelolaan lahan terlalu banyak. Izin penguasan lahan menjadi puncak kerusakan lingkungan. Ini sudah diperjuangkan sejak dulu. Saya minta perkebunan teh yang telah beralih fungsi dikembalikan ke fungsi awalnya,” tandasnya.
Di bagian lain, Forest Watch Indonesia bersama Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak mendesak pemerintah segera bertindak untuk mengembalikan fungsi kawasan lindung Puncak Bogor. Menurut para pegiat lingkungan ini, deforestasi, pelanggaran tata ruang dan perizinan di kawasan Puncak adalah musabab terjadinya banjir dan longsor sekitar Bogor-Jakarta.
Pengkampanye FWI, Anggi Putra Prayoga, mengungkapkan kawasan Puncak mengalami kerusakan hutan dan lahan yang masif selama puluhan tahun. Analisis FWI pada 2000–2016, seluas 5,7 ribu hektare hutan alam hilang dari Puncak. Mnyisakan 21 persen hutan alam dari total wilayah hulu daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung.
”Padahal peranan kawasan Puncak sangat vital untuk banyak daerah di bawahnya. Puncak adalah hulu dari empat DAS besar, yaitu Ciliwung, Cisadane, Kali Bekasi, dan Citarum. Bila kawasan ini rusak, dapat dipastikan daerah di bawahnya akan ikut terpapar juga,” ungkap Anggi.
Dia mencontohkan adanya pembukaan hutan dan pendirian bangunan permanen untuk pengembangan wisata yang terjadi dalam kawasan hutan di Taman Wisata Alam Telaga Warna. ”Hingga hari ini, sudah lebih dari 10 ribu dukungan untuk menghentikan pembangunan Telaga Warna dan tuntutan pengembalian fungsi lindung di Kawasan Puncak,” tambah Anggi.
Rencana tata ruang wilayah (RTRW) Puncak periode 2016-2036 telah direvisi dengan menyisakan kawasan hutan sebesar 29,47% dengan luasan 1047.53 hektare (ha). Dari sebelumnya luas kawasan hutan 2100,13 ha atau 58,78%. Seluas 445 ha kawasan lindung berubah fungsi untuk hutan produksi, pertanian dan permukimam. Kemudian perubahan peruntukan kawasan lindung untuk perkebunan seluas 704 ha.
”Peristiwa banjir dan tanah longsor yang terjadi menunjukkan kerusakan daerah aliran sungai. Semata-mata diakibatkan daya dukung di kawasan Puncak yang semakin menurun sehingga rentan bila menghadapi cuaca ekstrem,’’ imbuh Koordinator Konsorsium Penyelamatan Kawasan Puncak, Ernan Rustiadi.
Menurut Ernan, hutan tersisa di kawasan Puncak saat ini tidak cukup. Pemerintah harus serius dan mengkaji ulang peruntukan dan kesesuaian lahan untuk meningkatkan daya dukung lingkungan di kawasan Puncak yang kian hari makin menyusut. ”Jika tidak, bencana serupa akan terus berulang dan menjadi semakin parah,’’ tukasnya.(don/dka/d)
sumber :Radar Bogor
0 komentar:
Post a Comment