Agar bisa sampai ke desa di Klaten dan disulap jadi bioskop, pesawat harus dipotong dan diangkut tiga kontainer. Jam main menyesuaikan permintaan penonton. Juga jadi tempat latihan calon jamaah haji.PESAWAT Boeing 737-200 sudah siap di landasan. Penumpang pun masuk satu per satu. Tiket ditunjukkan kepada pramugari.
Bangku warna hitam beraksen biru menunggu. Penumpang duduk di kursi yang berjajar tiga-tiga. Di pesawat itu, memasang sabuk pengaman tidak wajib. Yang harus ditaati justru memakai kacamata kertas yang diberikan pramugari di depan pintu.
Penumpang juga tidak boleh menggunakan alas kaki. Sandal atau sepatu harus dititipkan di loker sebelum tangga naik. Jendela sebaiknya ditutup. Semakin gelap, semakin baik.
Ssstttt… Harus tenang. Siap? Oke, film dimulai…
Ya, naik pesawat di Pemancingan 100, sebuah restoran di Desa Janti, Kecamatan Polanharjo, Klaten, Jawa Tengah, itu memang bukan untuk terbang. Tapi, untuk menonton film.
Pesawat yang ”landasannya” di bagian belakang kompleks rumah makan tersebut dibagi menjadi tiga ruangan. Untuk film biasa, film 3D, dan kokpit untuk selfie.
Untuk ruang bioskop, ada layar 3 meter di depan. Tiga baris atau sembilan kursi yang berada dekat dengan layar dicopot. Dengan demikian, kapasitasnya 66 seat untuk bioskop alam dan 36 untuk bioskop 3D.
”Kalau terlalu dekat layar kan tidak bisa lihat. Yang belakang juga terganggu,” tutur Bambang Indra Nugraha, penanggung jawab harian di arena bioskop pesawat.
Setelah lebih dari setahun beroperasi, Indra mengklaim, jumlah pengunjung semakin banyak. ”Biasanya rombongan anak-anak. Kalau hari libur bisa 700–1.000 orang,” tutur pria 29 tahun itu.
Pemilik memang ingin menjadikan pesawat-bioskop itu sebagai sarana belajar bagi anak. Untuk itu, film-film yang diperlihatkan pun yang mendidik. Tentang dunia hewan, dinosaurus, dan yang lainnya.
Jam main di bioskop bertiket Rp10.000 pun menyesuaikan dengan permintaan penonton. Bahkan, ada satu penonton pun tetap main. Meski, itu tak pernah terjadi sejak beroperasi pada Desember 2016.
”Biasanya selalu rombongan atau minimal satu keluarga. Karena ini kan rumah makan keluarga,” kata Indra.
Saat Jawa Pos (Grup Radar Bogor) ke sana pada 18 Januari, suasana sedang tidak ramai pengunjung. Film 3D yang diputar bertajuk Roller Coaster yang bercerita tentang dunia dinosaurus.
Najmutstaqib Arrauf, salah seorang penonton yang berbarengan dengan Jawa Pos, mengaku sangat menikmati pengalaman pertamanya di bioskop pesawat.
”Bioskop pesawat ini bisa memfasilitasi kalau yang mau gaya foto-foto di atas pesawat. Murah lagi hehehe,” katanya.
Bodi pesawat yang digunakan bukan replika. Asli. Hanya, mesin dan identitas maskapainya sudah tidak ada.
”Ini bekas Batavia Air,” kata Indra.
Nurmiyanto, sang pemilik restoran Pemancingan 100, membawanya dari Bandara Internasional Soekarno-Hatta, Jakarta.
Indra menuturkan, ide sang bos itu memang awalnya hanya sebuah inovasi bisnis. Agar usahanya memiliki ciri khas yang dapat dihafal pelancong.
Dan, proses mendatangkannya tidak sederhana. Diawali perburuan Nurmiyanto ke berbagai bandara di Solo, Jogjakarta, hingga Surabaya.
Tapi, di bandara-bandara itu dia tidak mendapati pesawat yang bisa dibawa ke Klaten. Menurut informasi, harus ke Jakarta. Di Bandara Soekarno-Hatta ada tempat parkir pesawat-pesawat yang jam terbangnya sudah habis.
”Sempat ke Purwokerto dulu untuk ketemu orang yang bisa membantu membeli pesawat di Soetta,” cerita pria 29 tahun itu.
Pertengahan 2016 Nurmiyanto terbang ke Jakarta. Di bandara tersebut dia ketemu dengan Boeing 727-200 tersebut. Waktu itu stiker Batavia Air di bodi pesawat masih tampak jelas.
Kondisi pesawat juga masih baik. Proses negosiasi berjalan dan kesepakatan akhirnya tercapai. Si Boeing bisa dibawa pulang.
Tentu saja pembelian pesawat itu tidak seperti membeli rambutan di pasar. Ketika harga sudah cocok, rambutan bisa dibawa pulang.
Mesinnya harus dilepas terlebih dahulu. ”Untuk menutup logo Batavia Air, digunakan stiker putih. Warna putih ini bukan dicat,” ungkap Indra sambil menunjukkan
sisi luar pesawat.
Setelah mesin dilepas, tentu pesawat tidak bisa lagi dibawa lewat jalur udara. Harus menggunakan jalur darat. Kalau secara utuh dibawa ke Klaten, pesawat yang
disebut Baby Boeing tersebut tentu akan menarik perhatian.
Belum lagi, tak ada pengangkut yang muat. Akhirnya diputuskan untuk membawanya dengan kontainer.
Proses membawa bodi pesawat itu dilakukan dengan tiga kontainer. Pesawat dipotong tiga bagian terlebih dahulu.
Sekitar Oktober 2016 si pesawat sudah tiba di Klaten. ”Ini ada tim perakitnya,” ujarnya.
Tim perakit itu bekerja untuk menyatukan bodi pesawat. Tak lupa, stiker TAMAN AIR GROUP berwarna hijau ditempel. Setelah itu, giliran tim interior yang bekerja.
Tim interior bertugas menyulap bodi. Harus bisa nyaman untuk nonton film. Tapi, dengan tetap menjaga kemiripan pesawat. Indra waktu itu menjadi salah satu anggota tim interior.
Ruangan pun dibuat kedap suara. Tujuannya, tidak berisik ketika dua bioskop tersebut menyala bersama-sama.
Sementara itu, untuk ruang kokpit, pengunjung bisa merasakan seolah menjadi pilot. Tapi, hanya cukup dua orang. Khusus anak-anak, agar lebih menjiwai,
disediakan sewa baju pilot. Tentu kalau diabadikan dengan foto akan membuat lebih ciamik.
Hasilnya, di ruang bioskop 3D, sensasinya terasa. Benar-benar masuk ke suasana film. Jantung dibuat berdegup kencang ketika tiba-tiba bertemu buaya yang mulutnya sudah menganga. Siap menerkam.
Atau ketika dihadang gorila. Sama sekali tak kalah dengan layar 3D di bioskop-bioskop kota besar yang umumnya terletak di pusat perbelanjaan.
Tak cuma buat nonton film, pesawat di halaman restoran itu juga dimanfaatkan untuk latihan calon jamaah haji dan pramugari. ”Boleh digunakan untuk apa saja. Yang penting kasih kabar kalau mau datang rombongan,” ungkap Indra. (*/c10/ttg)
sumber :
Radar Bogor