BOGOR – Puncak tak hanya menjadi tempat favorit
wisatawan dan imigran saja. Kaum marjinal pun menasbihkan kawasan
berhawa sejuk ini sebagai surganya mereka.
Mulai dari anak punk, pengemis, gelandangan, pengamen hingga waria.
Minimnya penindakan dari Pemerintah Kabupaten Bogor, membuat mereka
berjaya disana.
Kaum marjinal di kawasan Puncak adalah masyarakat kelas bawah yang
terpinggirkan. Asal mereka pun beragam. Tak hanya dari ibu kota, warga
setempat pun turut mengais rupiah dengan menegadahkan tangan di setiap
mobil yang tersendat arus kemacetan.
Namun tidak semua bisa mengais rezeki sembarang di sana. Ada mafia
pengemis yang mengatur semua itu. Hampir seluruh gelandangan, pengemis
dan anak jalanan (gepeng anjal) memiliki bos masing-masing.
Untuk mereka yang beradadi jalur Puncak, harus menghadap dulu kepada
RN (40). Pria asal Kota Ambon, Provinsi Maluku itu adalah kordinator
seluruh pengemis disana.
Ia bahkan lebih fasih menyebutkan jumlah gepeng di Puncak, daripada camat maupun kepala desa.
“Semua saya yang korrdinir. Total ada 60 pengemis. Di Megamendung ada
18 orang, dan Cisarua ada 22 orang. Sedangkan sisanya menyebar ke
wilayah lain. Kalau ada pengemis baru, anak buah saya akan melapor dan
menyuruh untuk menghadap ke saya dulu,”
Lainnya halnya dengan anjal. Berdandan ala punk, mereka hidup bebas
tanpa kordinator atau bos. Mereka dibebaskan mengamen dimana saja, yang
terpenting tidak dengan cara kekerasan dan memaksa.
“Kami ngamen cumn buat makan dan merokok. Kami hidup di jalan dan
cari makan. Tapi jika ada anak punk yang mencopet atau memaksa dan
ketahuan, saya yang akan kasih pelajaran bagi dia, ”ujar Obet (29) salah
satu pentolan anak punk di Kecamatan Cisarua.
Sementara untuk waria, mereka berjalan berkelompok kecil. Antara dua
hingga tiga orang saja. Di puncak ada 28 kelompok waria tersebar disana.
0 komentar:
Post a Comment