Hal itu berkaca pada kejadian yang menimpa ZM, bocah empat tahun asal Bogor yang dicabuli oleh AS alias Amat, pedagang cilok (jajanan) di Taman Kanak-Kanak (TK) tempat ZM bermain dan belajar.
Kejadian itu terjadi pukul 09.30 WIB, Minggu (12/07/2016) lalu, ketika korban hendak membeli jajanan kepada pelaku. Melihat suasana sekolah yang sedang sepi, pelaku pun melakukan tindakan bejatnya.
“Pelaku kita tangkap atas laporan dari orang tua korban. Dimana korban mengalami kesakitan saat buang air kecil,” ujar Kanit PPA Polres Bogor, Aiptu Isa Ismail, kepada Radar Bogor Senin (25/07/2016).
Atas laporan tersebut polisi pun melakukan penyelidikan dan menangkap pelaku yang bersembunyi di Kecamatan Cibeber, Cianjur, Sabtu (23/7/2016). Sebelumnya tim mencoba menangkap Amat di kontrakannya yang berlokasi di Perumahan Griya Alam Sentosa, Desa Pasir Angin, Kecamatan Cileungsi.
“Namun ketika digrebek di kontrakannya, pelaku sudah lebih dahulu kabur,” beber Isa.
Pelaku kini sudah mendekam di sel tahanan Polres Bogor untuk dilakukan pendalaman motif serta alasan pelaku mencabuli korban.
Tersangka, kata dia, akan dikenakan Pasal 82 UU Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dengan ancaman penjara di atas lima tahun. Pelaku juga masih dalam pengembangan beberapa saksi lagi.
“Intinya pada saat di sekolah pun pihak sekolah punya kewajiban untuk memberi rasa aman terhadap anak. Harus diawasi juga, jangan sampai terjadi hal – hal yang tidak diinginkan seperti itu,” imbaunya.
Kejadian tersebut pun, mendapat perhatian serius dari Dinas Pendidikan Kabupaten Bogor. Sekertaris Dinas (Sekdis) Pendidikan Kota Bogor, Gada Sembada mengungkapkan, akan terus berkoordinasi kepada kepala sekolah dan UPT Pendidikan terkait kasus tersebut.
Jika melihat kasus yang menimpa ZM, Gada menilai polisi harus segera menindak atau minimal memberikan evaluasi agar tidak terjadi di sekolah lainnya.
“Dalam hal ini melakukan penyelidikan lebih lagi,” ungkapnya.
“Orang tua harus mawas diri, menjaga masing – masing anaknya,” bebernya.
Berulangnya kasus kekerasan pada anak menurut Psikolog Retno Lelyani Dewi bukan kesalahan orang tua karena lemah dalam pengawasan. Melainkan juga peran serta sekolah untuk mengawai para siswanya.
“Masalah ini, kembali lagi menjadi cambukan bagi pihak sekolah. Bagaimana sekolah bisa menciptakan suasana yang nyaman bagi anak,” bebernya.
Karena itu, dia menyarankan pendidikan seks sejak dini perlu dilakukan. Yakni, menjelaskan kepada buah hati bahwa bagian tubuh mana yang tidak boleh disentuh orang lain kecuali orangtuanya.
“Jadi pemahaman konsep menjaga diri sendiri harus diterapkan kepada anak sejak dini,” pungkasnya.
Berkaca dari kejadian itu, urgensi pengesahan Perppu Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perlindungan Anak (Perppu Kebiri) menjadi undang-undang (UU) harus segera dilakukan.
Sayangnya aturan ini masih terganjal oleh hal yang substansial. Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang diharapkan pemerintah untuk menjadi eksekutor hukuman kebiri terhadap terpidana kejahatan seksual masih ngotot menolak tawaran tersebut.
Hal tersebut secara tegas disampaikan oleh Pengurus Besar IDI saat dalam rapat dengar pendapat (RDP) bersama Komisi VIII di Gedung DPR, Senin (25/07/2016).
Wakil Ketua PB IDI Daeng Muhammad Faqih dalam RDP tersebut mengatakan bahwa posisi sebagai eksekutor hukuman kebiri tidak tepat jika diisi oleh profesi dokter.
Salah satu alasan utamanya adalah tugas dokter adalah untuk memberikan pertolongan medis kepada manusia, bukan malah sebaliknya.
“Kalau dalam konteks memberikan hukuman, IDI menyatakan bahwa dokter tidak dapat melakukan hukuman karena bertentangan dengan kode etik kedokteran. Biar bagaimanapun dokter adalah insan penyembuh,” kata Daeng.
Dia kemudian berasumsi bahwa pelanggaran terhadap kode etik dengan menerima tawaran sebagai eksekutor, akan membuka kotak pandora. Yakni akan munculnya dokter-dokter yang gampang melanggar kode etik kedokteran di masa mendatang.
“Memang sangat berat untuk menjaga kode etik ini dan kami memang belum seratus persen bisa menjaganya. Tapi akan lebih berbahaya lagi jika akan muncul dokter-dokter yang mudah melanggar kode etik,” ujarnya.
Karena itu, Daeng meminta kepada pemerintah bersama DPR untuk memilih
pihak lain yang lebih tepat untuk menjadi eksekutor hukuman kebiri
kepada pelaku kejahatan seksual. Apalagi, dia menganggap bahwa
keterlibatan dokter dalam perppu tersebut bukan sesuatu yang urgen.
Seperti misalnya terhadap pelaksanaan hukuman kebiri kepada pelaku yang salah satu caranya dengan menyuntikkan cairan hormon untuk menekan libido pelaku. Menurutnya, praktek penyuntikan tersebut dapat dilakukan oleh semua orang.
“Menyuntik itu tidak membutuhkan keahlian yang sangat spesial. Semua orang bisa melakukannya, bahkan pasien diabetes dilatih sendiri untuk bisa menyuntik obat ke dirinya sendiri. Jadi tidak perlu dokter yang melakukannya,” terang Daeng.
Kalau praktek menyuntik saja tidak membutuhkan dokter, apalagi dengan metode meminum pil sebagai pelaksanaan hukuman kebiri. Daeng mengatakan bahwa meminum pil dapat dilakukan sendiri oleh pelaku dengan pengawasan ketat oleh petugas.
“Diperiksa saja apakah benar pilnya sudah tertelan atau tidak,” ucapnya.
Apabila pemerintah tetap ngotot ingin menunjuk dokter-dokter IDI untuk menjadi eksekutor, Daeng mengatakan ada solusi lain. Yakni mengganti tujuan pembuatan perppu tersebut bukan untuk memberikan hukuman, namun untuk memberikan rehabilitasi kepada pelaku kejahatan seksual.
“Jika perppu tersebut dibuat dalam rangka rehabilitasi, kami bersedia untuk ikut merehabilitasi. Menghukum dan merehabilitasi itu artinya jelas berbeda. Kalau menghukum tanpa melihat kondisi, pelaku pokoknya dihukum, jika rehabilitasi dokter akan memeriksa pelaku apakah mental atau fisiknya yang perlu direhabilitasi,” terang dia.
Meski tegas menolak untuk menjadi eksekutor, Daeng menyatakan bahwa IDI mendukung semangat yang tertuang di dalam perppu untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
“IDI akan memberikan masukan yang diminta. Tapi saya mohon pemerintah menghormati kode etik kedokteran dengan tidak menunjuknya sebagai eksekutor,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII Malik Haramain mengatakan bahwa IDI seharusnya tetap tunduk kepada perppu kebiri jika sudah menjadi UU. Demikian juga dengan kode etik kedokteran.
“IDI akan memberikan masukan yang diminta. Tapi saya mohon pemerintah menghormati kode etik kedokteran dengan tidak menunjuknya sebagai eksekutor,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII Malik Haramain mengatakan bahwa IDI seharusnya tetap tunduk kepada perppu kebiri jika sudah menjadi UU. Demikian juga dengan kode etik kedokteran.
Malik menjelaskan bahwa IDI tidak perlu khawatir mengenai mandat yang diberikan perppu untuk menunjuk profesi dokter sebagai eksekutor hukuman kebiri.
“Jangan takut karena UU dan putusan pengadilan akan berada di belakang mereka sebagai payung hukumnya,” kata Malik.
Dia juga menuturkan bahwa posisi sebagai eksekutor hukuman kebiri sulit untuk dilimpahkan kepada pihak atau profesi selain dokter. Menurutnya hal tersebut akan menyebabkan dampak yang lebih buruk lagi kepada terpidana yang dijatuhi hukuman kebiri, baik melalui suntikan maupun meminum pil.
“Masa politisi yang nyuntik atau orang awam yang mengeksekusi, kan bisa lebih berbahaya lagi. Justru kami memilih dokter sebagai eksekutor agar proses pemberian hukuman kepada terpidana nanti tidak melanggar,” ujarnya.
Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Sujatmiko memahami kegelisahan IDI terhadap perrpu kebiri.
Karena itu dia mengatakan bahwa pemerintah siap mengeluarkan opsi profesi lain untuk menjalani tugas sebagai eksekutor hukuman kebiri.
“Ada pilihan lain, bisa perawat, bisa petugas lapas atau aparat penegak hukum yang dilatih,” tutur Sujatmiko.
Seperti misalnya terhadap pelaksanaan hukuman kebiri kepada pelaku yang salah satu caranya dengan menyuntikkan cairan hormon untuk menekan libido pelaku. Menurutnya, praktek penyuntikan tersebut dapat dilakukan oleh semua orang.
“Menyuntik itu tidak membutuhkan keahlian yang sangat spesial. Semua orang bisa melakukannya, bahkan pasien diabetes dilatih sendiri untuk bisa menyuntik obat ke dirinya sendiri. Jadi tidak perlu dokter yang melakukannya,” terang Daeng.
Kalau praktek menyuntik saja tidak membutuhkan dokter, apalagi dengan metode meminum pil sebagai pelaksanaan hukuman kebiri. Daeng mengatakan bahwa meminum pil dapat dilakukan sendiri oleh pelaku dengan pengawasan ketat oleh petugas.
“Diperiksa saja apakah benar pilnya sudah tertelan atau tidak,” ucapnya.
Apabila pemerintah tetap ngotot ingin menunjuk dokter-dokter IDI untuk menjadi eksekutor, Daeng mengatakan ada solusi lain. Yakni mengganti tujuan pembuatan perppu tersebut bukan untuk memberikan hukuman, namun untuk memberikan rehabilitasi kepada pelaku kejahatan seksual.
“Jika perppu tersebut dibuat dalam rangka rehabilitasi, kami bersedia untuk ikut merehabilitasi. Menghukum dan merehabilitasi itu artinya jelas berbeda. Kalau menghukum tanpa melihat kondisi, pelaku pokoknya dihukum, jika rehabilitasi dokter akan memeriksa pelaku apakah mental atau fisiknya yang perlu direhabilitasi,” terang dia.
Meski tegas menolak untuk menjadi eksekutor, Daeng menyatakan bahwa IDI mendukung semangat yang tertuang di dalam perppu untuk memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kejahatan seksual terhadap anak.
“IDI akan memberikan masukan yang diminta. Tapi saya mohon pemerintah menghormati kode etik kedokteran dengan tidak menunjuknya sebagai eksekutor,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII Malik Haramain mengatakan bahwa IDI seharusnya tetap tunduk kepada perppu kebiri jika sudah menjadi UU. Demikian juga dengan kode etik kedokteran.
“IDI akan memberikan masukan yang diminta. Tapi saya mohon pemerintah menghormati kode etik kedokteran dengan tidak menunjuknya sebagai eksekutor,” tuturnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi VIII Malik Haramain mengatakan bahwa IDI seharusnya tetap tunduk kepada perppu kebiri jika sudah menjadi UU. Demikian juga dengan kode etik kedokteran.
Malik menjelaskan bahwa IDI tidak perlu khawatir mengenai mandat yang diberikan perppu untuk menunjuk profesi dokter sebagai eksekutor hukuman kebiri.
“Jangan takut karena UU dan putusan pengadilan akan berada di belakang mereka sebagai payung hukumnya,” kata Malik.
Dia juga menuturkan bahwa posisi sebagai eksekutor hukuman kebiri sulit untuk dilimpahkan kepada pihak atau profesi selain dokter. Menurutnya hal tersebut akan menyebabkan dampak yang lebih buruk lagi kepada terpidana yang dijatuhi hukuman kebiri, baik melalui suntikan maupun meminum pil.
“Masa politisi yang nyuntik atau orang awam yang mengeksekusi, kan bisa lebih berbahaya lagi. Justru kami memilih dokter sebagai eksekutor agar proses pemberian hukuman kepada terpidana nanti tidak melanggar,” ujarnya.
Deputi Bidang Koordinasi Perlindungan Perempuan dan Anak Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Sujatmiko memahami kegelisahan IDI terhadap perrpu kebiri.
Karena itu dia mengatakan bahwa pemerintah siap mengeluarkan opsi profesi lain untuk menjalani tugas sebagai eksekutor hukuman kebiri.
“Ada pilihan lain, bisa perawat, bisa petugas lapas atau aparat penegak hukum yang dilatih,” tutur Sujatmiko.
0 komentar:
Post a Comment