BOGOR– Fenomena Lesbian, Gay,
Biseksual dan Transgender (LGBT) sebenarnya bukan hal baru. Hingga kini,
kaum ‘pelangi’ itu diam-diam terus berkembang biak secara terselubung
di setiap kantong-kantong perkotaan. Tak terkecuali di Kota Bogor.
Dari data yang dihimpun Radar Bogor, jumlah LGBT di Kota Hujan
mencapai 900 orang. Rinciannya, golongan biseksual 311 orang, gay 235
orang, dan transgender 38 orang (lengkap lihat grafis). Hal ini diakui
Ketua Pelaksana Harian Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Bogor, Iwan
Suryawan. Bahkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
“Iya, dari data yang kami dapatkan dan miliki jumlahnya meningkat
setiap tahun,” ujar Iwan seperti dilansir Radar Bogor Kamis (1/10/2015).
Iwan menjelaskan, data LGBT yang ada, bersumber dari Dinas Kesehatan
dan sejumlah lembaga sosial masyarakat (LSM) terkait pada indikator yang
terkena HIV/Aids. Sebab pada teknisnya, sangat sulit untuk mendata LGBT
secara langsung. Sehingga satu-satunya cara paling efektif untuk
mengetahui populasi kaum homoseksual ini melalui HIV/Aids.
“Tidak gampang untuk mendata mereka ini. Karena LGBT ini ibarat
fenomena gunung es. Jadi kami hanya bisa mengetahuinya lewat data dari
laporan Voluntary Counseling Test (VCT)kepada para korban yang
terjangkit HIV/Aids dan penyakit menular lainnya,” jelas Iwan.
Kesulitan mendata LGBT, kata Iwan, karena mereka sangat menutup diri.
Terutama untuk gay, lesbian dan biseksual. Yang hanya bisa mengetahui
orang tersebut LGBT atau tidak adalah sesamanya. Sedangkan orang normal,
dipastikan tidak bisa dan sulit mengidentifikasinya.
“Jadi kalau sesama LGBT, pasti akan ada chemistry-nya. Ada alirannya gitu,” kata Iwan setengah berseloroh.
LGBT, kata Iwan, juga tidak dapat diketahui dari ciri fisik. Yang
gay, tetap berpenampilan selayaknya lelaki normal. Tetap maskulin,
macho, badan berotot, kadang ada yang berewokan, dan memakai pakaian
laki-laki tidak seperti waria. Tapi, khusus lesbian, agak sedikit mudah
diidentifikasi.
“Gambaran umumnya yang biasa kami dapatkan di lapangan, bila ada dua
orang wanita jalan bergandengan tangan, pokoknya tampak akrab atau
mesra. Yang satu tampak seperti laki-laki yang diistilahkan sentul atau
kantil. Yang satunya lagi sangat feminim atau istilahnya femme,” beber
Iwan.
“Tapi untuk sementara lesbian belum masuk di data kami. Yang ada hanyalah gay, transgender dan biseksual,” tambahnya.
Sementara, untuk kasus biseksual, pihak KPA mendapati laporan
tersebut yang terjadi pada warga binaan pemasyarakatan (WBP) di Bogor.
Dia mengatakan, tingginya hasrat berhubungan seks sewaktu menghuni hotel
prodeo adalah pemicu nomor wahid. Lantaran tidak ada tempat pelampiasan
yang tepat, yakni perempuan, maka mau tidak mau antar napi lelaki
berhubungan badan.
“Ini ada di Bogor. Tapi setelah dia keluar, dia tetap berhubungan
dengan istrinya, dengan perempuan. Tapi kondisi ini sudah menjadi
kebutuhan seksualnya,” ungkap Iwan.
Menurut Iwan, LGBT yang merupakan masalah sosial dan genetik ini
diakibatkan banyak hal. Seperti faktor ekonomi, gaya hidup, lingkungan,
pendidikan yang kurang baik, dan permasalahan hidup. Selain itu, seks
juga menjadi salah satu kebutuhan hidup terbaru di abad ini.
“Jadi, menurut pengalaman kami di lapangan ada banyak faktor yang menyebabkan mereka menjadi LGBT,” sebut Iwan.
LGBT dan HIV/Adis, kata Iwan lagi, adalah dua hal yang saling
berhubungan. Jika dulu, HIV/Aids hanya menyebar lewat jarum suntik, kini
sudah beralih ke ‘jarum tumpul’. Artinya, lewat hubungan sejenis,
khususnya pada pasangan gay dan transgender yang menerapkan seks anal.
Hubungan seks oral juga berpotensi terjangkit, maka meskipun belum
didapati, lesbian juga rawan.
“Hubungan seks anal ini dapat mengakibatkan terjadinya goresan, luka,
dan cairan sprema. Ini sangat tidak baik dan tidak sehat. Sehingga dulu
kebanyakannya HIV/Aids itu tertular lewat jarum suntik yang tajam, kini
sudah turun dan beralih ke jarum yang ‘tumpul’,” urai Iwan.
Iwan pun mengaku cukup intens bertemu dengan kelompok ini. Menurut
Iwan, LGBT di Bogor juga memiliki keinginan untuk bebas dari belenggu
yang membuat hidup mereka tidak normal tersebut.
“Saya pernah tanya ke mereka, apakah mau sembuh atau tidak.
Kalau
tidak mau, lebih baik berantem aja sama saya. Artinya kan saya gagal.
Tapi mereka bilang mereka mau pulih dan hidup normal kembali. Masalahnya
adalah kapan,” ungkap Iwan. (ent)
0 komentar:
Post a Comment