Banner 1

Saturday, 3 October 2015

Astaga! Ratusan Warga Bogor Biseksual




BOGOR– Fenomena Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) sebenarnya bukan hal baru. Hingga kini, kaum ‘pelangi’ itu diam-diam terus berkembang biak secara terselubung di setiap kantong-kantong perkotaan. Tak terkecuali di Kota Bogor.

Dari data yang dihimpun Radar Bogor, jumlah LGBT di Kota Hujan mencapai 900 orang. Rinciannya, golongan biseksual 311 orang, gay 235 orang, dan transgender 38 orang (lengkap lihat grafis).  Hal ini diakui Ketua Pelaksana Harian Komisi Penanggulangan Aids (KPA) Kota Bogor, Iwan Suryawan. Bahkan mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

“Iya, dari data yang kami dapatkan dan miliki jumlahnya meningkat setiap tahun,” ujar Iwan seperti dilansir Radar Bogor Kamis (1/10/2015).

Iwan menjelaskan, data LGBT yang ada, bersumber dari Dinas Kesehatan dan sejumlah lembaga sosial masyarakat (LSM) terkait pada indikator yang terkena HIV/Aids. Sebab pada teknisnya, sangat sulit untuk mendata LGBT secara langsung. Sehingga satu-satunya cara paling efektif untuk mengetahui populasi kaum homoseksual ini melalui HIV/Aids.

“Tidak gampang untuk mendata mereka ini. Karena LGBT ini ibarat fenomena gunung es. Jadi kami hanya bisa mengetahuinya lewat data dari laporan Voluntary Counseling Test (VCT)kepada para korban yang terjangkit HIV/Aids dan penyakit menular lainnya,” jelas Iwan.

Kesulitan mendata LGBT, kata Iwan, karena mereka sangat menutup diri. Terutama untuk gay, lesbian dan biseksual. Yang hanya bisa mengetahui orang tersebut LGBT atau tidak adalah sesamanya. Sedangkan orang normal, dipastikan tidak bisa dan sulit mengidentifikasinya.

“Jadi kalau sesama LGBT, pasti akan ada chemistry-nya. Ada alirannya gitu,” kata Iwan setengah berseloroh.

LGBT, kata Iwan, juga tidak dapat diketahui dari ciri fisik. Yang gay, tetap berpenampilan selayaknya lelaki normal. Tetap maskulin, macho, badan berotot, kadang ada yang berewokan, dan memakai pakaian laki-laki tidak seperti waria. Tapi, khusus lesbian, agak sedikit mudah diidentifikasi.

“Gambaran umumnya yang biasa kami dapatkan di lapangan, bila ada dua orang wanita jalan bergandengan tangan, pokoknya tampak akrab atau mesra. Yang satu tampak seperti laki-laki yang diistilahkan sentul atau kantil. Yang satunya lagi sangat feminim atau istilahnya femme,” beber Iwan.

“Tapi untuk sementara lesbian belum masuk di data kami. Yang ada hanyalah gay, transgender dan biseksual,” tambahnya.

Sementara, untuk kasus biseksual, pihak KPA mendapati laporan tersebut yang terjadi pada warga binaan pemasyarakatan (WBP) di Bogor. Dia mengatakan, tingginya hasrat berhubungan seks sewaktu menghuni hotel prodeo adalah pemicu nomor wahid. Lantaran tidak ada tempat pelampiasan yang tepat, yakni perempuan, maka mau tidak mau antar napi lelaki berhubungan badan.

“Ini ada di Bogor. Tapi setelah dia keluar, dia tetap berhubungan dengan istrinya, dengan perempuan. Tapi kondisi ini sudah menjadi kebutuhan seksualnya,” ungkap Iwan.

Menurut Iwan, LGBT yang merupakan masalah sosial dan genetik ini diakibatkan banyak hal. Seperti faktor ekonomi, gaya hidup, lingkungan, pendidikan yang kurang baik, dan permasalahan hidup. Selain itu, seks juga menjadi salah satu kebutuhan hidup terbaru di abad ini.

“Jadi, menurut pengalaman kami di lapangan ada banyak faktor yang menyebabkan mereka menjadi LGBT,” sebut Iwan.

LGBT dan HIV/Adis, kata Iwan lagi, adalah dua hal yang saling berhubungan. Jika dulu, HIV/Aids hanya menyebar lewat jarum suntik, kini sudah beralih ke ‘jarum tumpul’. Artinya, lewat hubungan sejenis, khususnya pada pasangan gay dan transgender yang menerapkan seks anal. Hubungan seks oral juga berpotensi terjangkit, maka meskipun belum didapati, lesbian juga rawan.

“Hubungan seks anal ini dapat mengakibatkan terjadinya goresan, luka, dan cairan sprema. Ini sangat tidak baik dan tidak sehat. Sehingga dulu kebanyakannya HIV/Aids itu tertular lewat jarum suntik yang tajam, kini sudah turun dan beralih ke jarum yang ‘tumpul’,” urai Iwan.

Iwan pun mengaku cukup intens bertemu dengan kelompok ini. Menurut Iwan, LGBT di Bogor juga memiliki keinginan untuk bebas dari belenggu yang membuat hidup mereka tidak normal tersebut.
“Saya pernah tanya ke mereka, apakah mau sembuh atau tidak.

Kalau tidak mau, lebih baik berantem aja sama saya. Artinya kan saya gagal. Tapi mereka bilang mereka mau pulih dan hidup normal kembali. Masalahnya adalah kapan,” ungkap Iwan. (ent)

0 komentar:

Post a Comment