Banner 1

Monday 21 March 2016

Kisah Tukang Cukur Tradisional di Kota Bogor

sumber : Radar Bogor
41 Tahun Jual Jasa, tak Mematok Tarif

Gunting, cukur tua, sisir, bedak, dan kaca menjadi teman sekaligus bagian dari kesehariannya. Tak tampak sampo maupun krim rambut, apalagi AC. Yang terlihat hanya beberapa buah kursi plastik dengan pohon rindang sebagai atapnya.

Laporan: Wilda Wijayanti

---

Usianya tak lagi muda, tubuhnya renta, suaranya pun parau. Namun, senyuman tak pernah habis ia beri kepada tiap pelanggannya.

Namanya Mansyur, usianya kini telah mencapai 76 tahun. Lebih dari 41 tahun sudah ia mencicipi pahit manisnya menjadi tukang cukur. Keahliannya itu ia dapatkan dari sang paman.

"Pertama nyukur di Kampung Pulo, pindah ke Rawamangun. Di situ banyak langganan, dari Angkatan Laut juga polisi," kenang Mansyur.

Pertemuannya dengan sang istri yang berasal dari Bogor membuat Mansyur memilih untuk kemudian membuka jasa tukang cukur di Kota Hujan. Sedari awal, ia memang beroperasi di bawah pohon rindang, tepatnya di Jalan Otista, tak jauh dari Tugu Kujang.

Sesekali terpal berwarna biru ia pakai jika rintik hujan turun. "Dalam sehari yang nyukur di sini enggak tentu. Kadang 5 atau 10 orang, tapi alhamdulillah selalu ada," ungkapnya.

Urusan tarif, Mansyur mengaku tidak mematok tarif tertentu. Ia ikhlas dibayar berapa pun, dari mulai Rp10 ribu hingga Rp20 ribu. Tak jarang, ada yang memberinya "lebih" karena iba melihat ia yang masih harus menguras keringat di usia yang sudah senja.

"Sehari dapat Rp50 ribu-Rp100 ribu, paling kecil Rp10 ribu. Buka sama tutupnya juga enggak tentu, kadang jam 08.00 udah buka," ungkapnya.

Ia mengaku tak khawatir membuka jasa tukang cukur di bawah pohon rindang. Dikatakannya, pernah suatu hari, entah firasat atau bukan, ia memilih mengakhiri praktik tukang cukurnya lebih awal.

Baru beberapa langkah meninggalkan tempatnya nyukur, banyak dahan pohon yang berjatuhan menimpa.

Belum lagi dengan kisah kacanya yang retak, kata Mansyur, itu terjadi karena ketidak­sengajaan. "Ada yang dudukin, enggak tahu kalau ada kaca. Cuma dibenerin aja, enggak diganti," ungkapnya seraya tersenyum.

Mansyur mengaku, dari penghasilannya menjadi tukang cukur rambut mampu menyekolahkan ke-8 anaknya hingga tamat bangku sekolah menengah atas. Bahkan, beberapa di antaranya sudah bekerja.

"Yang nyukur di sini ada juga anak mudanya, biasanya minta dibotakin, tapi banyak juga yang minta di-mohawk," cetusnya.

Meski tak lagi sekuat dulu, raganya masih sehat. Sesekali hanya rasa pegal di pergelangan tangan menghampiri. Ia pun tak berencana untuk segera pensiun dari aktivitasnya kini. "Enggak betah di rumah, pengennya aktivitas. Kalau di rumah melulu, yang ada malah sakit," tandasnya.(wil)

0 komentar:

Post a Comment